Oleh SUKRON ABDILAH, Pegiat Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI)
Bangsa Indonesia di seluruh tanah air akan merayakan penyambutan hari kemerdekaan yang telah menginjak usia 76 tahun. Seperti biasa, perayaan akan terlihat gegap gempita dengan beragam acara yang menghibur, mendidik, dan mengingatkan kembali pada pengalaman kolektif bangsa atas keberanian serta ketulusan para pejuang kemerdekaan tempo dulu.
Keberanian dan ketulusan para pejuang, jadi modal untuk membebaskan bangsa dari kolonialisasi Belanda. Alhasil, dengan modal tersebut bangsa ini pada tanggal 17 Agustus 1945 bebas dari segala bentuk penjajahan, penindasan dan pengeksploitasian yang berlangsung sekira 3,5 abad. Pejuang 45 telah berhasil membangun kemandirian bangsa, tepatnya pada tahun 1945, hingga mengatmosfir dalam wujud kegembiraan tak terkira, lalu berteriak: “Merdeka, merdeka, merdeka”.
Itulah kegembiraan yang terlihat pada raut muka para pejuang di film-film perjuangan yang dulu kala di tahun 1990-an masih kerap diputar ulang ketika bulan Agustus tiba. Untuk konteks kekinian, tidaklah heran jika bendera, umbul-umbul, tugu, benteng dan pekarangan di rumah terhias warna Merah-Putih. Apalagi ketika hari menginjak tanggal 17 Agustus; boleh jadi gegap gempita agustusan akan meramaikan suasana. Kita pun seolah lupa bahwa roda bangsa ini kian berkarat.
Tanpa mampu menangkap intisari peringatan hari kemerdekaan – untuk menciptakan dan membangun kemandirian bangsa – roda bangsa pun tak akan bergelinding. Kendati bangsa ini telah merdeka selama 76 tahun, jika nihil dari semangat juang, tentunya Negara-bangsa tidak dapat bertransformasi ke arah lebih baik. Mentalitas bangsa kita juga seakan tidak mandiri, tidak kreatif, dan tidak inovatif; ini bisa dilihat dari menengadahkan tangan (ngutang) kita ke bangsa luar (terutama IMF).
Lantas, bagaimana seharusnya arah kegiatan perayaan hari kemerdekaan agar lebih berarti dan bisa mengeluarkan bangsa dari keterpurukan? Yang pasti, semangat "agustusan" semestinya diinternalisasi dan dijabarkan pada dunia riil masyarakat/rakyat, untuk menyibakkan “tabir-tabir” krisis me-multi di tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini.
Kesatria gagah berani
Prosesi “agustusan” adalah satu perangkat yang tepat dan akurat untuk membenahi mentalitas tidak kreatif, tidak inovatif dan tidak mandiri bangsa kita. Sebab, ketika bangsa dipenuhi orang-orang seperti itu, jangan harap kemajuan akan menghampiri kita. Bahkan, ketika generasi muda bangsa ini tidak dapat menangkap semangat juang perayaan 17 Agustus (baca: Agustusan), misalnya, ke depan nasib bangsa tidak bakal beranjak lebih baik.
Malahan, bakal terus-terusan terserang “virus” ketidaksejahteraan yang akan berujung pada merebaknya bangsa pesakitan akibat dari penjajahan laten yang dilakukan bangsa luar. Maka, logis sekali kalau Haji Wakhudin dalam rubrik kolom bertajuk: “Gara-Gara” ("PR"/4/08/06), merasa resah sembari mengatakan bahwa dengan keteguhan hati dan tekad baja, kita dapat memperteguh jati diri hingga mampu mengusir kolonialis.
Dalam posisi perlawanan seperti ini, menurutnya, dibutuhkan kesatria yang gagah berani sebagai perpaduan dari kekuatan akal pikir (Gatotkaca), fisik (Bima), dan gerak lincah (Arjuna) dalam tataran praksis sosial. Biasanya, kesatria gagah berani yang diidam-idamkan Haji Wakhudin tersebut pasti dimiliki setiap kaum muda bangsa ini. Sebab, fungsi tubuh, jiwa serta pikiran pemuda berada pada posisi “siap pakai” dan bisa digunakan semaksimal mungkin untuk membawa keluar bangsa dari impitan “batu besar” degradasi ekonomi, sosial, politik dan budaya.
Oleh karenanya, program kerja organisasi kepemudaan di NKRI mesti fokus memoles generasi muda, dengan keteguhan dan ketulusan hati. Alhasil, dapat mentransformasi pemuda menjadi para pemegang kebijakan yang jujur dan berani menyuarakan aspirasi “wong cilik” di masa mendatang. Tak arif rasanya kalau pemuda hanya bisa meneruskan “estapet pejajahan” generasi tua dengan meminjam utang kembali, umpamanya, ketika ia memegang kendali di lembaga eksekutif kelak.
Kalau bukan di pundak pemuda, tampuk kepemimpinan masa depan terletak; lantas, di pundak siapa lagi? Dengan demikian, pribadi pemuda juga semestinya menggambarkan kedigjayaan seorang kesatria gagah berani yang berkesadaran tinggi hingga piawai menghadapi arus – mengutip istilah Bung Karno – neo-kolonialisme bangsa luar. Dengan inilah, perayaan hari kemerdekaan mestinya jadi moment tepat untuk membangun kemandirian, keteguhan jiwa dan ketulusan hati demi terciptanya kemerdekaan bangsa.
Bukankah, kemandirian, keteguhan jiwa dan ketulusan hati para pejuang kemerdekaan tahun 45-an adalah modal pertama untuk melawan penjajahan dan penindasan bangsa luar? Lantas, apa salahnya kalau kita pun menauladani pribadi para pejuang yang bersemangat betul memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari impitan penjajahan kolonialis di bulan Agustus ini?
“Agustusan”
Kendati jatah peringatan hari sumpah pemuda bertepatan dengan tanggal 28 Oktober, namun hal itu tidak bijaksana rasanya kalau dijadikan alasan untuk mengabsenkan diri dari peran sosial. Sebab, inti dari peringatan hari-hari besar bersejarah adalah untuk menginternalisasi dan mentransformasikan semangat perjuangan mendiang para pahlawan dalam melawan kesemena-menaan. Bukan hanya sekadar kegiatan rutinitas yang tak membekas, bahkan kering kerontang dari nilai-nilai transformatif.
Misalnya, ketika peringatan mendekati hari “H”, prosesi “agustusan” kerap diisi pelbagai aktivitas yang agak menghambur-hamburkan atau konsumtif. Malahan, banyak pemuda kita yang meminta sumbangan untuk membiayai kegiatan tersebut dengan menengadahkan tangan di jalan-jalan raya. Bukan tidak boleh meminta uang dijalanan, namun ketika pemakaiannya tidak produktif, hal itu hanya akan mengakibatkan perayaan hari kemerdekaan terasa sesaat. Setelah bulan Agustus berlalu, kita pun kembali menjalani kehidupan yang sedemikian karut-marut dengan pelbagai krisis multidimensional.
Kondisi di atas merupakan imbas dari beberapa persoalan yang belum bisa tertanggulangi oleh para pemimpin di Indonesia. Pertama, rendahnya mutu pendidikan bangsa yang mengakibatkan pemuda tidak mampu berimprovisasi ketika memperingati hari kemerdekaan. Maka mereka pun terjebak pada perayaan rutinitas tanpa mampu mengambil semangat juang tokoh-tokoh tempo dulu yang ikut andil membawa Indonesia menghirup udara kemerdekaannya.
Kedua, banyaknya pemuda yang menganggur akibat minimnya lapangan kerja yang sesuai dengan life skill dan potensi yang dimiliki, karena belum tuntasnya persoalan pengangguran di Indonesia. Ketiga, kurangnya ruang aspirasi para pemuda untuk berunjuk kebolehan dalam hal seni, sehingga bulan Agustus kerap dijadikan ajang pelampiasan keterpendaman itu. Keempat, para pemuda dari kalangan terdidik seakan tidak pernah menyentuh ranah kaum “alit”, lebih intensif melakukan pendekatan politik praktis-pragmatis pada kaum “elit” yang birokratis.
Dalam khazanah Sunda, mungkin pernah mendengar bahkan mengenal istilah: “teu langkung nu di kopeah”, semuanya terserah yang memakai peci atau kopeah (baca: pemimpin). Artinya, ketika pemimpin ingin dihargai dan dihormati rakyat, keadilan dan kesejahteraan tidak hanya wacana an sich, namun mesti dijabarkan para pemuda yang berada di lembaga legislatif dan eksekutif. Tentu saja, ketaatan dan rasa menghormati bakal tercipta andai saja mereka memiliki keteguhan jiwa dan ketulusan hati sebagai modal pertama memimpin rakyat.
Alhasil, relasi sosial politik antara pemimpin dengan rakyat akan terasa lebih demokratis, tidak otoriter dan mementingkan rakyat kecil (baca: kaum alit). Dari sinilah, pribahasa: “teu langkung nu di kopeah” akan kembali dikenal masyarakat dan “ruh” maknanya akan terasa. Namun, ketika segala kebijakan cenderung merugikan rakyat papa, dari arah lain akan muncul orang-orang yang membela hak-hak mereka sekuat tenaga.
Mengapa demikian? Sebab, makna historis dari perayaan 17 Agustus adalah mengenang dan menauladani keberanian para pejuang ketika merebut Indonesia dari tangan kolonialis. Dan model perjuangan sekarang ini pun tidak hanya dengan adu fisik, melainkan memperjuangkan hak-hak sosial, ekonomi dan budaya rakyat hingga dapat diraih kembali. Pertanyaannya, bisakah para pemuda menangkap semangat juang 17 Agustus? Semoga saja kita mampu, kawan!