Negara tanpa sebuah hukum, akan berubah menjadi ruang interaksi dipenuhi ketakteraturan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itulah kenapa masyarakat demokratis memerlukan sebuah perangkat hukum (UU, pengadilan, jaksa, hakim, dll).
Masyarakat taat hukum, bagi saya, amatlah diperlukan kehadirannya dalam sebuah Negara-bangsa (nation-state). Pun begitu dengan “masyarakat penentang hukum”, masih sama; bagi saya sangat diperlukan juga. Masyarakat kedua ini, terbelah menjadi dua pranata keberbangsaan, yakni “penentang intelektual” dan “penentang praktikal”.
Untuk para “penentang intelektual” mereka tak hanya berkoar-koar agar mengganti UU. Tapi, telah memiliki kesadaran karena lama berkecimpung dengan persoalan bangsa yang diatur dalam UU tersebut. Mislanya, kelahiran istilah “pasal karet” adalah akibat samping dari aktivitas penentangan mereka terhadap sebuah hukum di negeri kita. UU ITE, contohnya!
Sementara itu, “penentang praktikal” lebih banyak lahir akibat manusia hilap dan silap. Atau, tak tahu perbuatannya melanggar hukum, mereka mengerti; tapi dompet tebal ternyata banyak menolongnya.
Namun, kini hukum di negeri kita hanya dapat menjerat kaum lemah, warga terpinggir, bahkan anak-anak kecil. Suguhan menarik dari aparat hukum di negeri ini adalah ketika memvonis bersalah seorang anak berusia 9 tahun, karena memukul temannya.
Bahkan, ada juga yang membuat menangis seorang anak pejabat kepolisian. Dengan dalih penyiksaan, sang anak dengan usia bau kencur itu divonis bersalah. Tak hanya itu, di Jawa Barat sempat ada beberapa siswa SD yang divonis bersalah karena melakukan undian (baca: judi). Mereka melakukannya di sebuah terminal. Taruhannya juga tak besar-besar amat. Hanya ratusan rupiah. Tapi, kenapa hukum tak mengenal batas usia?
Dalam agama saya, Islam, hukum tak berlaku bagi seorang anak yang belum baligh. Mereka bakal dianggap sebagai anak kecil yang belum mengetahui apa-apa. Daripada menanggulangi “kenakalan anak-anak” dengan hukum, mendingan dengan pendekatan kasih dan sayang. Sebab, ketika mereka sejak kecil sudah mendapat cap “kriminal” dari luar, itu akan berpengaruh bagi perkembangan jiwa di masa mendatang.
Si anak yang dicap bersalah oleh pengadilan, akan terisolasi dan diisolasi. Bahkan mengisolasi diri karena malu dirinya mendapat cap kriminal. Bukankah dalam benak warga kita, menempatkan seorang terdakwa menjadi sang penjahat masyarakat? Pesan saya, hukum jangan hanya digunakan untuk menjerat warga lemah, warga bodoh, warga miskin, dan anak kecil. Sementara, ketika berhadapan dengan pejabat korup seolah kehilangan kekuatan.
Itu catatan singkat saya. Maaf…saya bukan warga yang mengerti dengan hukum di Indonesia.