Fauziah Hafidha, Book Lover
Saya termasuk orang yang lebih suka membaca buku nonfiksi daripada membaca buku fiksi (novel). Namun, beberapa tahun terakhir ini saya malah semangat membaca buku fiksi. Mengapa? Salah satunya karena saya bekerja di penerbit.
Saya merasa perlu (dan juga dianjurkan) untuk memperluas khazanah bacaan. Selain itu, saya ingin memperkaya diksi dan kosakata bahasa Indonesia yang biasanya didapatkan dari membaca karya-karya sastra —begitu kata Ivan Lanin, salah satu penggiat bahasa Indonesia.
Bonusnya: saya mendapatkan pengalaman membaca yang berbeda dari biasanya. Saya juga senang bisa membaca lika-liku kehidupan dan budaya masyarakat Indonesia pada zaman dulu atau yang tinggal di daerah-daerah berbeda dengan tempat tinggal saya.
Saya berkesimpulan: membaca novel tidak hanya menambah pengetahuan, tetapi juga menghibur dan ajang kontemplasi diri.
Nah, di sini ada 6 novel yang sudah saya baca dan saya merekomendasikan kamu untuk menikmatinya. Asyik, loh!
1. Tetralogi Pulau Buru (Pramoedya Ananta Toer)
Tetralogi ini terdiri dari novel Bumi Manusia, Semua Anak Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Saya merasa sedih dengan akhir cerita dari tetralogi ini, tetapi saya tetap merekomendasikan untuk dibaca. Tetralogi ini akan mengantarkan kita pada sejarah sebelum kemerdekaan, perjuangan atas ketidakadilan, serta romantisme Minke dan lika-liku kehidupannya.
2. Guru Aini dan Orang-orang Biasa (Andrea Hirata)
Novel Guru Aini adalah prekuel dari Orang-orang Biasa yang lebih dahulu terbit. Kedua novel ini memiliki alur cerita yang sederhana, tetapi penuh dengan pesan yang mendalam. Latar tempat dari kedua novel ini kental dengan suasana daerah pelosok bernama Tanjung Hampar.
Dalam Guru Aini, dikisahkan perjuangan seorang guru matematika. Muda, cantik jelita, jenius, dan idealis bernama Desi Istiqomah serta muridnya yang sangat tertinggal dalam pelajaran matematika, Aini. Novel ini konon dipersembahkan Andrea untuk guru yang dihormatinya, Bu Guru Marlis.
Salah satu tugas utama orang tua di dunia ini adalah memuji anak-anaknya, apa pun yang terjadi. —Guru Aini
Dalam novel Orang-orang Biasa, Andrea Hirata berfokus menceritakan kisah Aini yang ingin menjadi dokter. Aini bertekad menjadi dokter untuk menyelamatkan sang ayah yang terbaring sakit. Setelah berhasil melewati sulitnya pelajaran matematika, Aini kini dihadapkan dengan kenyataan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk kuliah kedokteran.
Hanyalah orang-orang yang ikhlas yang dapat melihat kemuliaan pekerjaannya, Sersan. Mereka yang tak melihat kemuliaan itu tak kan pernah mencintai pekerjaannya. —Orang-orang Biasa
Novel-novel yang ditulis Andrea Hirata akan membuat pembaca terhanyut dalam keseruan cerita karakter-karakter yang beragam. Andrea juga menyisipkan humor-humor yang tidak hanya kocak —tetapi juga cerdas. Saya sempat tertawa terbahak-bahak saat membaca adegan perampokan bank dalam novel Orang-orang Biasa.
3. Aroma Karsa (Dee Lestari)
Novel ini terbit pada 2018 yang menceritakan tentang pencarian sebuah "tanaman sakti" bernama Puspa Karsa oleh Raras Prayagung –pemilik Kemara, sebuah perusahaan parfum paling terkenal seantero negeri.
Dalam pencarian Puspa Karsa, terkuak juga jati diri Jati Wesi, si Hidung Tikus yang tinggal di TPA Bantar Gebang. Selain kedua tokoh yang tadi saya sebutkan, satu tokoh yang tidak kalah penting dari novel ini adalah Tanaya Suma, pewaris tunggal 'kerajaan' Kemara.
Saya membaca buku ini atas rekomendasi Ivan Lanin. Dia mengatakan bahwa untuk memperkaya diksi, kita harus sering membaca karya sastra yang berkualitas. Misalnya, novel-novel Andrea Hirata atau Dee Lestari. Karena itu, saya kemudian membeli Aroma Karsa dan Orang-orang Biasa.
Novel Aroma Karsa ada 700 halaman lebih. Pada awalnya saya mengira akan menyelesaikan novel ini dalam waktu satu bulan. Ternyata oh ternyata, saya mampu mengkhatamkannya dalam dua hari! Meskipun tebal, tulisan pada novel ini cukup besar, kok. Selain itu, ceritanya yang seru dan bikin penasaran, membuat saya ingin segera tahu akhir ceritanya :D
Benar apa yang dikatakan Uda Ivan, novel Dee ini bisa memperkaya diksi kita karena banyak menggunakan kata yang tidak lazim kita dengar di kehidupan sehari-hari. Saya sering mengecek KBBI untuk mengetahui arti sebuah kata yang dipakai sang novelis pada novel ini, misalnya: aksentuasi, niskala, lengas, dan masih banyak kata lainnya.
Ivan Lanin pernah menyebutkan bahwa Dee Lestari adalah orang pertama yang menggunakan kata 'petrikor' untuk menyebutkan aroma hujan. Selain itu, Aroma Karsa tak sedikit menyebutkan bahan dapur, rempah-rempah, dan aroma-aroma lain yang entah mengapa nama-nama tersebut jadi terdengar eksotis.
Pun dengan nama-nama parfum yang dihasilkan Kemara, seperti Anggana, Puspa Ananta, dan Puspa Kangga. Novel Aroma Karsa berhasil membuat saya jadi ingin memberi nama anak dengan nuansa Jawa. Rasanya nama-nama seperti Janirah, Raras Prayagung, atau Puspa Karsa terdengar elegan, bangsawan, dan menawan. Hihi.
4. Menolak Ayah (Ashadi Siregar)
Novel yang terbit pada 2018 ini merupakan salah satu rekomendasi yang saya dapatkan dari Ivan Lanin. Pria berdarah minang itu mengungkapkan bahwa novel ini sangat berkesan dan bahkan membuatnya menitikkan air mata. Tentu saja hal tersebut membuat saya jadi penasaran.
Novel ini menceritakan kisah hidup Tondinihuta (Tondi) dengan latar belakang waktu ketika masa pemberontakan PRRI (1956) hingga peristiwa G30S (1965). Menolak Ayah juga bercerita tentang latar belakang Tondi yang kental dengan adat istiadat Batak dan pergulatan emosi Tondi dengan sosok sang Ayah yang menelantarkan ia dan ibunya.
Membaca novel ini membuat saya mendapatkan banyak pengetahuan tentang sejarah dan suku Batak yang benar-benar merupakan informasi baru bagi saya.
Saya tidak menitikkan air mata ketika membaca novel ini, tetapi merasa enjoy mengikuti lika-liku kehidupan Tondi. Dari masa kecil Tondi yang dilingkupi kemiskinan, masa remajanya yang ikut ke medan perang, bertemu berbagai wanita yang masing-masing memiliki kisah tersendiri, sampai akhirnya hidup kaya raya di Jakarta.
Akhir cerita Tondi pada novel ini dapat dimaklumi, meskipun membuat saya merasa miris :')
5. Entrok (Okky Madasari)
Novel ini merupakan rekomendasi seorang teman. Saya senang sekali karena ternyata Ipusnas memiliki judul ini dalam koleksinya! Langsung saja segera saya pinjam :)
Entrok berhasil mengaduk-ngaduk emosi saya. Dari perasaan kasihan terhadap kondisi hidup si tokoh utama, Sumarni, dicampur dengan perasaan kesal, prihatin, miris, ketika mengikuti perjalanan hidupnya.
Gaya penceritaan dalam novel ini mengingatkan saya pada novel Para Priyayi-nya Umar Kayam. Okky Madasari menuliskan cerita dari berbagai sudut pandang tokoh yang ada dalam cerita, tidak melulu dari sudut pandang Marni.
Teman saya bilang, novel ini banyak mengangkat isu feminisme. Saya cukup setuju dengan pendapat teman saya tersebut. Selain tema feminisme, tema sosial politik serta pluralisme juga dominan muncul pada novel Entrok.
Novel ini juga berhasil secara apik menggambarkan bagaimana perbedaan pandangan dan jalan hidup yang kentara antara dua orang perempuan: sang ibu, Marni, dan anaknya, Rahayu.
6. Para Priyayi (Umar Kayam)
Bocoran: saya belum membaca versi bahasa Indonesianya, tetapi saya suka sekali dengan novel ini.
Saya membaca versi bahasa Inggris yang diterbitkan oleh The Lontar Foundation dengan judul The Javanese Gentry. Gaya penceritaannya runut, detail, dan mengasyikkan membuat saya betah menyelesaikan novel 373 halaman ini.
Novel The Javanese Gentry sarat makna filosofis kebudayaan Jawa. Karakter-karakter yang diciptakan sangat beragam dan memiliki ciri khas tersendiri. Novel ini pun diceritakan dari berbagai sudut pandang karakter yang ada.
Karakter favorit saya adalah Ndoro Guru Kakung Sastrodarsono, anak seorang petani yang dianggap menjadi awal mula munculnya keturunan kaum priyayi di keluarganya.
Menurut laman kemdikbud.go.id, novel yang diterbitkan pada 1992 ini menjelaskan makna priyayi dalam konsep budaya Jawa melalui pemikiran si karakter tentang dirinya, tempat asal, lingkungan, dan cita-citanya.
Pembaca yang berlatar belakang budaya Jawa akan memahami sikap tokoh yang berkarakter Jawa, seperti sifat sumarah, sabar, dan nrimo. Sedikit banyak saya juga merasa ada hubungan yang familiar dengan beberapa cerita dalam novel ini. Mungkin karena suasana dan beberapa kebiasaan atau cara pandang hidup yang mirip seperti yang saya alami di keluarga saya sendiri.
Terima kasih telah membaca. Semoga bermanfaat!