Askar minggu-minggu ini terlihat murung. Tak seperti biasa, wajahnya diselimuti mendung yang menggunung. Sesekali matanya dipenuhi asap hitam menggumpal hingga tetesan air matanya membasahi pipi. Aku dan Ibnu hanya tersenyum. Kadang mengejek. Kadang juga memotivasinya agar tetap semangat.
Tahukah kamu, begitu kata Askar, aku begini karena cintaku kandas di tengah jalan. Si Fitri ternyata menolak mentah-mentah perasaan cintaku padanya.
Sebagai teman, aku dan Ibnu merasakan kesedihan yang dialami Askar. Tapi apa daya, kami berdua tak mau dan tak mampu memaksa Fitri untuk menerima lamaran cinta Askar. Tidak ada paksaan dalam cinta, Kar! Hehehe
“Katanya cinta bukan sekadar rasa sayang kepada lawan jenis saja, Kar.” Aku memulai topik pembicaraan selepas shalat Isya.
“Kalau begitu, tolong jelaskan makna cinta menurut kamu? Sebab, banyak yang menggunakan kata cinta hanya untuk menyebutkan jalinan kasih antara wanita dan laki-laki.” Askar bertanya kepadaku dengan nada kesal.
“Tidak selalu begitu, Kar!” Ibnu menimpal.
“Makna cinta itu seluas samudera tak berbatas. Setiap objek ciptaan-Nya adalah tempat bermuara cinta. Salah dong kalau kamu hanya memahami cinta sebagai perasaan kangen pada wanita saja.” Lanjut Ibnu berapi-api.
“Sudah-sudah kalau begitu mari kita lihat apa yang bisa diberikan Al-Quran dalam menjawab tentang cinta yang multipemahaman ini.” Ujarku sambil mengambil kitab Al-Quran, menciumnya, dan membuka halamannya dengan khidmat.
Ketika tiba pada surah Ali ‘Imran [3] ayat 31, aku pun menemukan sepenggal ayat sbb, “Kalau kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu.”
Setelah membaca dan menuliskannya di papan tulis, kami bertiga mulai asyik membincangkan makna di balik cinta.
“Cinta adalah dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah. Semua keadaaan dan peringkat yang dialami oleh pejalan, adalah tingkat-tingkat cinta kepada-Nya, dan semua peringkat (maqâm) dapat mengalami kehancuran, kecuali cinta. Ia tidak bisa hancur dalam keadaan apa pun selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri.” Saya menyimpulkan diskusi waktu itu yang terhenti karena harus segera membuka gawean dari sekolah.
***
Singkat cerita, waktu subuh tiba. Askar, yang saat itu sedang tergila-gila pada Fitri mengumandangkan adzan. Suaranya lembut, indah, dan merdu; gambarkan jiwanya yang sendu akibat cinta bertepuk sebelah tangan. Ilman Nursifa terlihat memasuki serambi masjid. Menyalami Ibnu dan aku. Tangannya lembut. Tidak kasar seperti tanganku yang sejak kecil sering bekerja kasar. Sampai sekarang, deterjen itu menghancurkan tanganku. Kulitnya mengelupas dan pecah-pecah. Namun, meskipun tangannya lembut, dia tidak pilih kasih menyalami orang, sekalipun pengemis yang mangkal di depan masjid.
“Laa ilaaha illallah”, Askar mengakhiri suara merdunya.
Kami pun mengulangi adzan yang dikumandangkan Askar, kecuali pada kalimat “hayya ala shalah” dan “hayya ala falah”. Kenapa tidak diucapkan? Hatiku berbisik, “mungkin shalat dan menggapai kebahagiaan bukan kerja lisan. Tapi kerja seluruh anggota jasad: dilaksanakan.” Setelah mengucapkan kembali “laa ilaaha illallah”, kami serempak membaca doa selepas adzan. Kemudian, menunaikan shalat sunah qabla subuh alias shalat fajar.
“Allahu Akbar. Asyhadu anla ilaaha illallah. Asyhadu ana muhammadarrasulullah. Hayya alash sahalah. Hayya alal falah. Qadqamati shalah. Qadqamati shalah. Allahu Akbar. Laa ilaaha illallah.” Itu yang iqamat adalah Askar.
Aku, Ibnu dan Askar seolah hanyut dengan bacaan Ilman Nursifa, tepatnya, surah Ar-Rahman dan rakaat kedua surah At-Tiin. Selesai menunaikan shalat, selepas zikir secukupnya; Ilman Nursyifa bertanya kepada Askar.
“Ada apa, Kar? Kok terlihat murung begitu.”
“Hehe…????” Askar setengah malu-malu tersenyum pilu.
“Ah…paling si Askar masih kecewa dengan sikap Fitri pak Kyai!”, ujar Ibnu sambil setengah cekikikan.
“Memangnya ada apa dengan Fithri, Bil?” tanya Ilman sembari menengok ke arah ku yang saat itu sedang tertunduk menulis di karpet, dengan jari tanpa tinta.
“Eu…ini pak kyai,” sambil menengok ke arah Askar, “Askar ditolak cintanya oleh Fitri. Hihihi” jawabku sambil diakhiri tawa yang tertahan beban.
“Iya nih…pak kyai. Aku kecewa. Mau obatnya biar tidak kecewa. Ya, kalau bisa mohon penjelasan tentang cinta menurut Al-Quran.” Timpal Askar setengah emosi karena ketahuan oleh pak kyai.
“Pertanyaan tadi memang jarang dilontarkan anak muda. Remaja seumuran kamu, bahkan saya sekalipun, akan berbeda memaknai cinta. Apalagi dengan makna cinta menurut Al-Quran. Sebetulnya, pertanyaan bagaimana makna cinta menurut Al-Quran, sangat sulit dijawab. Cinta, tergantung kepada orang yang sedang mengalaminya dalam kehidupan secara real time (nyata). Perlu kamu ketahui, deretan kata atau kalimat dalam Al-Quran akan dipahami secara berbeda oleh setiap orang. ”
“Bagi saya,” lanjut Ilman, “cinta adalah salah satu dorongan dalam hidup manusia. Tanpa memiliki perasaan cinta, kamu akan berada pada ketidakpastian. Semangat hidup juga tidak akan nampak ke permukaan. Cinta, objeknya berbeda-beda. Bisa harta benda, suami, istri, anak, atau kekasih. Cinta seperti ini berkaitan dengan kesenangan duniawi. Dan, saya rasa setiap manusia pasti memiliki cinta terhadap kesenangan duniawi.” Jelas Ilman seraya berhenti sebentar menghela jeda berbicara.
Dengan semangat membara, Ilman Nursyifa, melanjutkan kembali ceramahnya sbb, “Hal itu diinformasikan Al-Quran sebagai berikut, Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita (dan pria-pria), anak-anak lelaki (dan anak-anak perempuan), harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup duiniawi; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga dan kenikmatan hidup ukhrawi) (QS Âli ‘Imrân [3]: 14).”
“Nah, cinta juga bisa terhadap segala hal yang telah berjasa besar dalam mengarahkan hidupmu. Misalnya, mencintai Nabi Muhammad Saw., meskipun beliau sudah tidak ada dihadapanmu lagi. Cinta seperti ini muncul dari kekaguman dan penghormatan. Ini juga diinformasikan dalam Al-Quran, Kalau kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu (QS Âli ‘Imrân [3]: 31).”
“Kemudian, Allah Swt. memberikan evaluasi terhadap kekuatan cintamu dengan cara membandingkan. Di sini, cintamu diuji. Apakah kamu lebih mencintai harta, jabatan, suami, istri, anak, atau pasanganmu ketimbang Allah dan Muhammad Saw. Kalau saja lebih mencintai objek selain Allah dan Muhammad Saw., kamu termasuk orang fasiq. Mereka mengetahui mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah keniscayaan tetapi dalam praktik keseharian tidak menghiraukan ajaran-Nya.”
“Nah, begitulah cinta menurut Al-Quran. Kamu, mesti mencintai hidup untuk mengabdikan secara penuh kepada sang pencipta, Allah Swt. Caranya dengan meneladani kepribadian Muhammad Saw. dalam kehidupan sehari-hari.” Ilman membuka telapak tangannya. Sesekali tersenyum kepada kami. Menggelengkan kepala. Dan, memberikan pandangan yang semenjuk.
“Oooo….begitu ya??” Askar terlihat puas tapi masih terlihat gurat di wajahnya bertebaran rasa kecewa.
“Tuh…makanya, cinta itu jangan berlebihan, Kar” Ibnu terlihat puas dengan uraian Ilman Nursyifa.
Kyai muda itu mengakhiri bedah masalah kehidupan dengan pisau analisis ayat-ayat Al-Quran hari itu. Di dalam Al-Quran dijelaskan, “Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, pasangan-pasangan, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq (QS Attaubah [9]: 24).”
“Puaskah kalian, wahai pemuda Islam?”
“Hmmmm….ya…ya…ya!” aku hanya mengangguk setuju saja. [Bersambung]
“Cinta adalah dasar dan prinsip perjalanan menuju Allah. Semua keadaaan dan peringkat yang dialami oleh pejalan, adalah tingkat-tingkat cinta kepada-Nya, dan semua peringkat (maqâm) dapat mengalami kehancuran, kecuali cinta. Ia tidak bisa hancur dalam keadaan apa pun selama jalan menuju Allah tetap ditelusuri.” Saya menyimpulkan diskusi waktu itu yang terhenti karena harus segera membuka gawean dari sekolah.
***
Singkat cerita, waktu subuh tiba. Askar, yang saat itu sedang tergila-gila pada Fitri mengumandangkan adzan. Suaranya lembut, indah, dan merdu; gambarkan jiwanya yang sendu akibat cinta bertepuk sebelah tangan. Ilman Nursifa terlihat memasuki serambi masjid. Menyalami Ibnu dan aku. Tangannya lembut. Tidak kasar seperti tanganku yang sejak kecil sering bekerja kasar. Sampai sekarang, deterjen itu menghancurkan tanganku. Kulitnya mengelupas dan pecah-pecah. Namun, meskipun tangannya lembut, dia tidak pilih kasih menyalami orang, sekalipun pengemis yang mangkal di depan masjid.
“Laa ilaaha illallah”, Askar mengakhiri suara merdunya.
Kami pun mengulangi adzan yang dikumandangkan Askar, kecuali pada kalimat “hayya ala shalah” dan “hayya ala falah”. Kenapa tidak diucapkan? Hatiku berbisik, “mungkin shalat dan menggapai kebahagiaan bukan kerja lisan. Tapi kerja seluruh anggota jasad: dilaksanakan.” Setelah mengucapkan kembali “laa ilaaha illallah”, kami serempak membaca doa selepas adzan. Kemudian, menunaikan shalat sunah qabla subuh alias shalat fajar.
“Allahu Akbar. Asyhadu anla ilaaha illallah. Asyhadu ana muhammadarrasulullah. Hayya alash sahalah. Hayya alal falah. Qadqamati shalah. Qadqamati shalah. Allahu Akbar. Laa ilaaha illallah.” Itu yang iqamat adalah Askar.
Aku, Ibnu dan Askar seolah hanyut dengan bacaan Ilman Nursifa, tepatnya, surah Ar-Rahman dan rakaat kedua surah At-Tiin. Selesai menunaikan shalat, selepas zikir secukupnya; Ilman Nursyifa bertanya kepada Askar.
“Ada apa, Kar? Kok terlihat murung begitu.”
“Hehe…????” Askar setengah malu-malu tersenyum pilu.
“Ah…paling si Askar masih kecewa dengan sikap Fitri pak Kyai!”, ujar Ibnu sambil setengah cekikikan.
“Memangnya ada apa dengan Fithri, Bil?” tanya Ilman sembari menengok ke arah ku yang saat itu sedang tertunduk menulis di karpet, dengan jari tanpa tinta.
“Eu…ini pak kyai,” sambil menengok ke arah Askar, “Askar ditolak cintanya oleh Fitri. Hihihi” jawabku sambil diakhiri tawa yang tertahan beban.
“Iya nih…pak kyai. Aku kecewa. Mau obatnya biar tidak kecewa. Ya, kalau bisa mohon penjelasan tentang cinta menurut Al-Quran.” Timpal Askar setengah emosi karena ketahuan oleh pak kyai.
“Pertanyaan tadi memang jarang dilontarkan anak muda. Remaja seumuran kamu, bahkan saya sekalipun, akan berbeda memaknai cinta. Apalagi dengan makna cinta menurut Al-Quran. Sebetulnya, pertanyaan bagaimana makna cinta menurut Al-Quran, sangat sulit dijawab. Cinta, tergantung kepada orang yang sedang mengalaminya dalam kehidupan secara real time (nyata). Perlu kamu ketahui, deretan kata atau kalimat dalam Al-Quran akan dipahami secara berbeda oleh setiap orang. ”
“Bagi saya,” lanjut Ilman, “cinta adalah salah satu dorongan dalam hidup manusia. Tanpa memiliki perasaan cinta, kamu akan berada pada ketidakpastian. Semangat hidup juga tidak akan nampak ke permukaan. Cinta, objeknya berbeda-beda. Bisa harta benda, suami, istri, anak, atau kekasih. Cinta seperti ini berkaitan dengan kesenangan duniawi. Dan, saya rasa setiap manusia pasti memiliki cinta terhadap kesenangan duniawi.” Jelas Ilman seraya berhenti sebentar menghela jeda berbicara.
Dengan semangat membara, Ilman Nursyifa, melanjutkan kembali ceramahnya sbb, “Hal itu diinformasikan Al-Quran sebagai berikut, Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita (dan pria-pria), anak-anak lelaki (dan anak-anak perempuan), harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup duiniawi; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga dan kenikmatan hidup ukhrawi) (QS Âli ‘Imrân [3]: 14).”
“Nah, cinta juga bisa terhadap segala hal yang telah berjasa besar dalam mengarahkan hidupmu. Misalnya, mencintai Nabi Muhammad Saw., meskipun beliau sudah tidak ada dihadapanmu lagi. Cinta seperti ini muncul dari kekaguman dan penghormatan. Ini juga diinformasikan dalam Al-Quran, Kalau kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu (QS Âli ‘Imrân [3]: 31).”
“Kemudian, Allah Swt. memberikan evaluasi terhadap kekuatan cintamu dengan cara membandingkan. Di sini, cintamu diuji. Apakah kamu lebih mencintai harta, jabatan, suami, istri, anak, atau pasanganmu ketimbang Allah dan Muhammad Saw. Kalau saja lebih mencintai objek selain Allah dan Muhammad Saw., kamu termasuk orang fasiq. Mereka mengetahui mencintai Allah dan Rasul-Nya adalah keniscayaan tetapi dalam praktik keseharian tidak menghiraukan ajaran-Nya.”
“Nah, begitulah cinta menurut Al-Quran. Kamu, mesti mencintai hidup untuk mengabdikan secara penuh kepada sang pencipta, Allah Swt. Caranya dengan meneladani kepribadian Muhammad Saw. dalam kehidupan sehari-hari.” Ilman membuka telapak tangannya. Sesekali tersenyum kepada kami. Menggelengkan kepala. Dan, memberikan pandangan yang semenjuk.
“Oooo….begitu ya??” Askar terlihat puas tapi masih terlihat gurat di wajahnya bertebaran rasa kecewa.
“Tuh…makanya, cinta itu jangan berlebihan, Kar” Ibnu terlihat puas dengan uraian Ilman Nursyifa.
Kyai muda itu mengakhiri bedah masalah kehidupan dengan pisau analisis ayat-ayat Al-Quran hari itu. Di dalam Al-Quran dijelaskan, “Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, pasangan-pasangan, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasiq (QS Attaubah [9]: 24).”
“Puaskah kalian, wahai pemuda Islam?”
“Hmmmm….ya…ya…ya!” aku hanya mengangguk setuju saja. [Bersambung]