NUBANDUNG - Berbicara mengenai tokoh perempuan di Indonesia tentu ingatan kita langsung tertuju pada sosok Raden Ajeng Kartini. Seorang tokoh kelahiran Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879. Kartini telah dikenal sebagai sosok yang berpengaruh dalam pemenuhan hak dan kewajiban dari kaum perempuan dalam mengenyam pendidikan di era penjajahan.
Selain sosok Kartini yang telah dikenal publik secara luas, masih ada 4 tokoh perempuan yang kurang dikenal oleh masyarakat luas. Para pejuang pendidikan ini memiliki pengaruh cukup kuat bagi kebangkitan citra kaum perempuan di tanah Pasundan. Mereka adalah adalah L.A Lasminingrat, Raden Dewi Sartika, Raden Siti Jenab dan Ema Poeradiredja.
Keempat tokoh perempuan hebat tersebut memiliki peran yang tidak biasa di zamannya, dari sebagai perempuan pribumi pertama yang menduduki kursi anggota parlemen Kota Bandung (1932 – 1942) sampai mengenalkan pendidikan secara door to door.
1. Raden Siti Jenab (1890 - 1951)
Tidak banyak yang tahu bahwa Raden Siti Jenab merupakan tokoh gerakan perempuan yang giat mengenalkan sistem pendidikan bagi kaum perempuan di Kota Cianjur melalui konsep door to door (mengenalkan ke setiap rumah di desa desa dari sudut Kota Cianjur, Jawa Barat). Perempuan yang lahir di Kota Cianjur tahun 1890 ini pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Raden Dewi Sartika di Bandung, Jawa Barat.
Pelajaran yang diajarkan yaitu berupa Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Belanda, Berhitung, Pendidikan Budi Pekerti hingga pendidikan praktis bagi kaum perempuan seperti membatik dan merenda.
Saat ini pakar ilmu sejarah dari Provinsi Jawa Barat, Profesor Nina Herlina Lubis bersama Lutfi Yondri dari Dewan Cagar Budaya Jabar sedang berupaya untuk mengusulkan Ibu Jenab sebagai tokoh pahlawan nasional dibidang pendidikan pada Rabu (14/2) yang lalu.
2. Raden Dewi Sartika (1884 - 1947)
Raden Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Bandung Jawa Barat 4 Desember 1884. Putri dari salah seorang Patih di Bandung bernama R. Rangga Somanegara dan ibunya bernama R. A. Rajapermas. Sejak kecil Dewi Sartika kerap bermain dan berperan menjadi seorang pendidik di hadapan teman-temannya, sejak saat itulah keinginannya untuk menjadi seorang pendidik terbangun.
Pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika mendirikan Sekolah Istri atau sekolah untuk perempuan di Kota Bandung. Sekolah Istri tersebut terus mendapat apresiasi dari masyarakat. Banyak dari kalangan perempuan di Bandung serta Jawa Barat ingin bersekolah di Sakola Istri tersebut, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup untuk menampung banyaknya murid-murid yang bersekolah.
Untuk mengatasinya, pada tahun 1910 Sekolah Istri kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas yaitu di Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.
Di tahun 1913 atas inisiasi dari Dewi Sartika berdiri pula organisasi kautamaan istri di Tasikmalaya. Organisasi ini menaungi sekolah-sekolah yang didirikan oleh Dewi Sartika. Pada tahun 1929, Pemerintah Hindia Belanda mengembangkan Sakola Kautamaan Istri dengan membangun Gedung baru yang cukup besar dan memberikan fasilitas penunjang pada sekolah tersebut dan mengganti nama sekolah menjadi Sakolah Raden Dewi.
3. R.A Lasminingrat (1843-1948)
R.A Lasminingrat atau Raden Ayu Lasminingrat merupakan seorang tokoh pergerakan kaum perempuan dari Kota Garut Jawa Barat, Beliau merupakan putri sulung pasangan Raden Haji Muhamad Musa dengan Raden Ayu Ria, seorang penghulu sekaligus sastrawan yang terkenal dari tanah pasundan. R.A Lasminingrat mencoba mengenalkan pendidikan gaya barat dengan menerjemahkannya ke dalam budaya Sunda agar mudah dipahami oleh masyarakat di Jawa Barat tersebut.
Beliau juga sangat fasih dalam berbahasa Belanda, dan mendapatkan penghargaan dari seorang pengawas perkebunan asal Belanda bernama Karel Frederick Holle karena menerjemahkan cerita Grimm (Die Brder Grimm, seorang akademik asal Jerman yang membuat karya Puteri Salju, Rapunzel, Cinderella, Hansel dan Gretel). Serta cerita-cerita dari negeri dongeng (Oleg Goeverneur), dan cerita-cerita lainnya ke dalam bahasa Sunda.
Raden Ayu Lasminingrat dikenal sebagai tokoh perempuan yang mengadopsi gaya pendidikan barat dan disesuaikan dengan kebudayaan Indonesia untuk diterapkan kepada perempuan perempuan di Jawa Barat melalui budaya sunda agar lebih mudah dipahami sehingga ilmu Pendidikan dari barat bisa dipraktikan secara berkala dalam membangun kepribadian kaum perempuan sunda yang mandiri dan bermartabat.
Di tahun 1907 Lasminingrat mendirikan Sakola Kautamaan Istri di lingkungan Ruang Gamelan, Pendopo Garut. Awalnya sekolah tersebut hanya dibuka secara terbatas untuk lingkungan para priyayi atau bangsawan lokal saja dengan materi pelajaran yang beberapa diambil dari hasil sekolahnya di belanda, berupa materi bacaan, tulis, dan tentunya materi pemberdayaan perempuan. Selain itu, Lasminingrat juga rajin membuat karya tulisan. Di antara karyanya yang terkenal adalah Warnasari (jilid 1 & 2).
Warnasari karya Lasminingrat sendiri merupakan cerpen yang berisi tentang pengaruh kuat ambisi dan tekad perempuan dalam memperjuangkan hak-haknya termasuk seputar percintaan serta perjodohan yang kian marak pada era tersebut. Karya Lasminingrat tersebut berupaya membuka ruang dialektika bagi pembaca remaja maupun dewasa.
4. Nyi Raden Rachmatulhadiah Poeradiredja (1902 - 1976)
Nyi Raden Rachmatulhadiah Poeradiredja atau yang lebih dikenal sebagai Emma Poeradiredja merupakan tokoh pejuang perempuan yang lahir di Kota Bandung pada 9 Maret 1880. Emma sendiri merupakan salah satu anggota dari Jong Java yang didirikan oleh Satiman Wirjosandjojo, sebuah perkumpulan pemuda yang aktif dalam memperjuangkan persatuan dari para pelajar pribudi serta menguatkan nilai pada kesenian dan pengetahuan umum bagi anggotanya.
Pada 1927, Emma Bersama beberapa rekannya yaitu Artini Djojopuspito, Sumardjo, Ayati, Emma Sumanegara, Suhara, Kasiah, Kartimi, dan Rusiah mendirikan Dameskring. Yaitu sebuah organisasi pemuda pemudi Indonesia yang berfokus pada penguatan nilai dari cita-cita bangsa Indonesia melalui beberapa kegiatan salah satunya mendirikan organisasi wanita.
Dari anggota Dameskring, Emma pun turut aktif dalam Kongres Pemuda Indonesia II yang diadakan di Batavia pada tahun 1928 dan tidak lama setelah kegiatan di Kongres pemuda tersebut Emma pun kembali mendirikan PASI (Pasundan Istri), sebuah organisasi kaum perempuan dari Jawa Barat yang giat memperjuangkan nasib serta kepentingan rakyat di Jawa Barat.