Oleh: IDRIS APANDI, Penulis Buku Strategi Mewujudkan Karakter Pelajar Pancasilais.
NUBANDUNG - Pancasila adalah pandangan hidup, ideologi, dan dasar negara Indonesia. Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan ditetapkannya UUD 1945. Walau tidak secara eksplisit ditulis sebagai Pancasila, tetapi rumusannya Pancasila tercantum pada Alinea IV pembukaan UUD 1945.
Pancasila harus ditanamkan kepada bangsa Indonesia sejak dini. Pendidikan Pancasila (dan Kewarganegaraan) yang disingkat PPKn tercantum pendidikan nasional. Mata pelajaran tersebut diajarkan mulai dari jenjang SD, SMP, SMA, SMK, hingga perguruan tinggi.
Dalam sebuah riset yang saya lakukan, saya pernah bertanya kepada salah seorang peserta didik. Mata pelajaran apa yang tidak disukai? Dia menjawab bahwa dia tidak suka mata pelajaran PPKn. Alasannya bahwa disamping cara mengajar gurunya kurang menyenangkan, isi materinya pun banyak hapalan, seperti menghapal pasal-pasal UUD 1945. Baginya, hal tersebut membosankan, sehingga dia kurang berminat belajar PPKn.
Jawaban dari peserta didik tersebut mungkin saja mewakili perasaan sekian banyak pandangan peserta didik lainnya terhadap mata pelajaran PPKn. Seolah-olah PPKn, khususnya pada materi Pancasila isinya adalah teoretis dan hapalan sehingga membosankan dan tidak menantang. Padahal mata pelajaran PPKn adalah mata pelajaran yang esensial dan substantif dalam membentuk karakter pelajar Indonesia, khususnya menjadi pribadi yang berjiwa Pancasila.
Menurut saya, supaya anggapan peserta didik terhadap pendidikan Pancasila berubah menjadi lebih positif, maka materi PPKn jangan diajarkan secara ribet, banyak teori, dan hapalan, tetapi perlu diajarkan oleh guru secara lebih santuy, dalam artian lebih sederhana, tetapi bermakna. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa guru menyampaikan materi mengacu kepada tuntutan kurikulum sehingga guru kadang merasa dikejar-kejar saat menyampaikan materi. Baginya, yang penting materi tersampaikan kepada peserta didik hingga akhir semester, kemudian lanjut materi baru pada semester berikutnya.
Dalam mempelajari sebuah materi pelajaran, pengenalan teori atau konsep dasar seperti sejarah, latar belakang, pengertian, definisi, atau ciri-ciri penting sebagai “pintu gerbang” mempelajari materi berikutnya, tetapi hal yang lebih penting adalah makna yang didapatkan oleh peserta didik. Mereka harus mendapatkan “pengalaman batin” setelah mempelajari materi pelajaran khususnya yang berkaitan dengan Pancasila.
Dalam konteks materi pelajaran Pancasila, menghapal sila-sila Pancasila merupakan fondasi bagi peserta didik. Supaya peserta didik tidak merasa “terbebani” belajar nilai-nilai Pancasila, guru perlu mengemas proses pembelajaran seolah peserta didik tidak sedang belajar Pancasila padahal mereka secara substantif mereka sedang belajar Pancasila. Misalnya dengan mengajak siswa berdoa atau beribadah bersama, saling menghormati agama dan kepercayaan masing-masing, membangun sikap toleransi, mengajak siswa membantu orang lain, minimal di lingkungan keluarga, teman bermain, dan lingkungan tetangga, mau hidup saling berdampingan antara satu dengan lainnya, saling membantu, dan tidak berpecah belah.
Guru mengajak peserta didik untuk musyawarah dalam menyusun tata tertib kelas, menata kelas, dan menata tempat duduk peserta didik. Kemudian, guru dapat mengajak peserta didik untuk kerja bakti membersihkan kelas, membersihkan lingkungan sekolah, mengumpulkan sumbangan untuk teman yang membutuhkan, dan sebagainya.
Guru bisa mengajak peserta didik untuk belajar di luar kelas, lalu mengamati dan mendiskusikan perilaku baik-buruk yang mereka lihat menurut ukuran norma dan hukum yang berlaku. Guru bisa mengajak peserta didik memikirkan solusi dari permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat, misalnya masih rendahnya kesadaran masyarakat membuang sampah pada tempatnya, masih rendahnya ketaatan masyarakat terhadap rambu-rambu lalu lintas, masalah kemiskinan, masalah banyaknya kasus korupsi di Indonesia, dan sebagainya.
Guru pun bisa mengajak peserta didik untuk menceritakan kehidupan sehari-harinya. Apakah mereka suka melaksanakan ibadah, suka membantu orang tua, taat dan hormat pada orang tua, saling menghormati dengan sesama anggota keluarga yang lain, hidup rukun dengan tetangga, suka terlibat dalam kegiatan sosial di lingkungan tempat tinggalnya, dan sebagainya. Hal tersebut disamping memancing siswa untuk berpikir kritis juga berpikir reflekif sehingga peserta mendapatkan makna dari materi yang dipelajarinya.
Jadi, menurut saya, guru tidak perlu selalu membahas Pancasila secara eksplisit, tetapi saat guru dan peserta didik tanya jawab, diskusi, dan mengerjakan sebuah proyek sosial-kemanusiaan, peserta didik dapat menjelaskan dengan baik disertai dengan buktinya, secara substansi mereka telah mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Guru kemudian memberikan penguatan bahwa hal yang mereka lakukan adalah wujud sikap dan perilaku manusia Pancasilais. Tidak ribet bukan membelajarkan nilai-nilai Pancasila kepada peserta didik?