Alkisah, di sebuah kerajaan, ada seorang pelayan raja tampak gelisah. Ia bingung kenapa raja tidak pernah adil padanya. Hampir setiap hari, secara bergantian; pelayan-pelayan lain mendapatkan hadiah. Mulai dari cincin, kalung, uang, emas, hingga perabot antik nan mahal. Sementara dirinya tidak!!!
Hanya dalam beberapa bulan saja, hampir semua pelayan berubah drastis kaya raya berrkat hadiah dari raja. Para pelayan itu, ada yang mulai membiasakan diri berpakaian sutera; ada yang memakai cincin di dua jari manis, kiri dan kanan; hebatnya lagi, hampir tak seorang pun yang datang ke istana dengan berjalan kaki seperti dulu. Semuanya datang dengan kendaraan. Mulai dari berkuda, hingga dilengkapi dengan kereta dan kusirnya.
Namun, ada perubahan dahsyat yang terjadi. Para pelayan yang sebelumnya betah berlama-lama di istana; mulai pulang dengan cepat. Begitu pun dengan kedatangan yang tidak sepagi dulu; mereka kerapkali dating siang hari. Tampaknya, mereka mulai sibuk dengan kekayaan dan urusan masing-masing. Kecuali satu pelayan yang miskin saja yang masih begitu setia melayani. Anehnya, tak ada hadiah apa pun pada pelayan itu dan tiada penjelasan sedikit pun dari raja.
Kenapa sang raja begitu tega kepada pelayannya yang paling setia itu? Kalau yang lain mulai enggan mencuci baju sang raja, sementara si pelayan miskin itu selalu mencucikannya.
Suatu hari, kegelisahan pelayan setia itu tak terbendung.
“Rajaku yang terhormat!” ucapnya sambil bersimpuh. “Saya mau undur diri dari pekerjaan ini,” sambungnya.
Tetapi, ia tak berani menatap wajah sang raja langsunng. Ia mengira, sang raja akan mencacinya, memarahinya, bahkan menghukumnya.
“Kenapa kamu ingin undur diri, pelayanku?” tanya sang raja.
Si pelayan miskin itu terdiam. Tapi, ia harus bertarung melawan takutnya. Kapan lagi ia bisa mengeluarkan isi hatinya yang sudah tak lagi terbendung itu: kecewa karena tidak dikasih hadiah.
“Maafkan saya, raja. Menurut saya, raja sudah tidak adil!” jelas si pelayan.
Ia pun pasrah menanti titah baginda raja. Ia yakin, raja akan membunuhnya.Lama ia menunggu. Tapi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut raja. Pelan-pelan, si pelayan miskin itu memberanikan diri untuk mendongak. Dan ia pun terkejut. Ternyata, sang raja menangis. Air matanya menitik. Beberapa hari setelah itu, raja dikabarkan wafat.
Seorang kurir istana menyampaikan sepucuk surat kepada sang pelayan miskin. Dengan penasaran, ia mulai membaca, “Aku sayang kamu, pelayanku. Aku hanya ingin selalu dekat denganmu. Aku tak ingin ada penghalang antara kita. Tapi, kalau kau terjemahkan cintaku dalam bentuk benda, kuserahkan separuh istanaku untukmu. Ambillah. Itulah wujud sebagian kecil sayangku atas kesetiaan dan ketaatanmu.”
Serupa kisah di atas, hidup memang selalu dihiasi dengan warna-warni kehidupan. Kadang kesusahan menghampiri kita; ada juga senang yang menentramkan asa. Kadang ada tawa ceria; ada juga isak tangis membayangi hati. Ada kemudahan yang menggembirakan jiwa; juga ada kesulitan yang datang silih berganti. Namun, sayangnya, kita selalu berprasangka buruk pada seseorang, kebanyakan kita juga selalu berburuk sangka pada Allah, Yang Maha Diraja.
Allah Swt., berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka (buruk). Sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).
Kita selalu beribadah karena mengharapkan balasan di dunia. Tetapi, tatkala balasan di dunia tak kunjung datang, kita pun protes pada-Nya. Kita dengan gegabah mempertanyakan cinta Allah ketika apa yang kita cita-citakan tidak menjadi nyata. Kita juga sering melihat tindakan orang lain dengan kacamata kita sendiri, bahkan tak jarang kita berprasangka buruk terhadapnya. Orang lainlah yang selalu salah, orang lainlah yang patut disingkirkan, orang lainlah yang tak tahu diri, orang lainlah yang berdosa, orang lainlah yang selalu bikin masalah, dan orang lainlah yang pantas diberi pelajaran.
Padahal, Rasulullah Saw. bersabda, “Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, karena prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.” (H.R Muslim). Begitulah kita, umumnya seringkali mengambil simpulan berdasarkan prasangka dan kecurigaan. Prasangka buruk terbangun karena kebiasaan. Semenntara, kebiasaan membangun karakter pribadi seseorang.
Dalam kehidupan, kita kerap mengalami kejadian yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Hampir tidak dapat dihindari dalam diri terbersit pikiran negatif pada Allah, terutama jika mengalami nasib kurang baik (tidak menyenangkan); tetapi saat bernasib baik, seolah melupakan-Nya. Bila saja hal ini terus berlarut-larut dipintal dalam hidup, itulah titik permulaan dari malapetaka ruhani kita hingga bakal membangkrutkan kekayaan batiniyah kita.