Oleh: Sukron Abdilah
NUBANDUNG - Di dunia maya arus komunikasi dan informasi umat manusia mengalami perkembangan cepat dan mencengangkan. Saat ini, praktik komunikasi tidak hanya terpaku pada pengertian tatap muka secara fisik saja. Dalam hitungan detik atau menit, bahkan tanpa hitungan, setiap orang bisa bertatap wajah dengan lawan bicaranya meskipun keduanya saling berjauhan jarak.
Karena itu, format dakwah di era digital, harus dirumuskan sesuai dengan ruang dan waktu yang berlaku. Sebab, di dalam ajaran Islam kita mengenal pepatah shalih likulli zaman wa makan.
Dengan kemajuan teknologi internet dalam kehidupan berkomunikasi manusia modern, keniscayaan bahwa dakwah harus mulai memasuki kehidupan masyarakat "melek internet" yang lebih banyak mempraktikkan komunikasi virtual.
Dalam keseharian masyarakat digital, arus informasi sedemikian cepat dapat diakses, sehingga membentuk pola hidup yang serba instan. Maka, model dakwah juga mestinya diformulasikan secara cepat dengan memanfaatkan akses internet agar dapat memeroleh informasi seputar keislaman secara cepat pula, namun dengan perspektif yang mencerahkan.
Wawasan moral diperlukan oleh para pengguna internet untuk menciptakan ekosistem digital yang bebas dari perilaku bully, HOAX, dan laku pornoaksionis, sehingga netizen tidak terkurung abjeksi moral. Akibatnya, sikap dan keterampilan moral yang ada dalam dirinya akan tergerus ke arah degradatif.
Maka, proteksi nilai-nilai normatif berbasis agama melalui literacy ethic bagi pengguna internet mutlak digalakan oleh organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Sebab, merespon perkembangan atau kemajuan teknologi informasi dan komunikasi adalah keniscayaan.
Paradigma dakwah
Ketika Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eleketronik (RUU-ITE) disahkan menjadi Undang-Undang, banyak pihak pro dan kontra. Pihak pertama, pro karena alasan banyak munculnya kriminalitas di dunia maya (cyber crime) sehingga penting melakukan pencegahan protektif lewat jalur konstitutional (cyber law). Sementara itu, pihak yang kontra beralasan bahwa UU ITE akan mengancam kebebasan pers sehingga upaya demokratisasi sebagai wacana nation-state akan terjegal karena sensor yang berlebihan dari pemerintah.
Lantas, bagaimana dengan tanggapan umat Islam atas lahirnya UU ITE ini?
Sejatinya, kelahiran UU tersebut memang perlu, tetapi dengan menelurkan garis-garis konstitutional tanpa ada upaya praksis membentuk moral pengguna internet, UU tersebut eksistensinya akan sia-sia. Sebab, di tahun 2009 saja, ada sekitar 13.422.659.310.152.401 kombinasi situs yang dapat dibuat. Dan, laman situs porno akan terus merebak karena diakali dengan cara penggantian domain yang baru.
Jadi, selain payung hukum di dunia maya (cyber law), kita membutuhkan bentuk dakwah berbasis etika literasi praksis yang dijejalkan pada generasi muda, karena ke depan mereka akan menjadi warga "melek internet". Caranya, Departemen Komunikasi dan Infromasi (Depkominfo) menggalang kerjasama dengan organisasi Islam atau agama lain untuk melakukan upaya sosialisasi dan pelatihan praktis menggunakan internet dengan "akal sehat".
Pihak ormas Islam pun pada posisi demikian, mestinya tanggap terhadap arus globalisasi informasi yang sedemikian cepat meracuni pola pikir manusia modern. Salah satunya dengan cara melakukan upaya penyadaran kolektif lewat pelatihan internet sehat untuk setiap jamaahnya. Alhasil, ketika mereka menggunakan akses internet di rumahnya, akan melakukan bimbingan kepada anaknya agar memanfaatkannya secara sehat.
Mengapa hal demikian harus dilakukan? Sebab, -- mengutip istilah Yasraf A Piliang – bahwa di era cyberspace, setiap bentuk seksualitas bisa saja dijadikan alat pemenuhan kebutuhan ekonomi oleh kaum kapitalis atau dikenal dengan "libidonomics". Sehingga, setiap orang yang tidak memiliki landasan etika dalam menggunakan internet, ia akan terjebak pada laku konsumer pasif dunia "esek-esek" dan meracuni pola sikap, tindakan dan pemikirannya ke arah liberalis-individualis.
Maka, saya pikir kita (umat Islam) perlu melakukan upaya-upaya pembentukan gerakan internet sehat dikalangan jamaahnya. Tujuannya agar kita tidak terjebak pada reifikasi (pemberhalaan) seksualitas demi mencari keuntungan ekonomis lewat bisnis yang menggerus umat manusia ke arah abjeksi moral.
Allah SWT berfirman, sbb: "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya" (QS. Al-Jaasiyah: 23).
Menggelorakan "etika literasi"
Term etika berasal dari bahasa Yunani, ethikhos, yang berarti adat-kebiasaan; namun seiring perkembangan zaman, istilah ini berkembang dan ekuivalen dengan moralitas. Kalau mengacu pada pengertian etimologis, etika adalah serentetan perilaku yang telah mendarah daging pada diri manusia. Perilaku etis sangat berkaitan dengan mempraktikkan nilai-nilai yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-harinya.
Secara filosofis, etika mempertanyakan bagaimana sebaiknya manusia bertingkah laku (how men ought to act in general).
Etika harus dimasukkan ke benak para pengguna internet, yang punya peluang besar memanfaatkan internet sebagai media mengakses hal-hal pornografis. Tugas organisasi Islam di Indonesia adalah membuat pertahanan diri lewat penggodogan format etika bagi masyarakat "melek internet".
Apalagi bagi pengguna internet dari kalangan remaja, gagasan pemblokiran situs porno adalah langkah awal untuk mencegah terdegradasinya moralitas generasi muda. Namun, akan lebih kokoh lagi jika ulama atau tokoh masyarakat memberikan arahan kepada mereka seputar nilai-nilai etis dalam menggunakan internet.
Sebab, kemajuan teknologi informasi global mengakibatkan sistem komunikasi bersifat praktis, individual, private, bahkan masuk ke benak kaum "melek internet" tanpa ada sensor nilai-nilai sosial-kultural dan sosial-religius. Alhasil, dengan watak teknologi yang memiliki produktivitas tinggi ini berpengaruh pada terbentuknya pola sikap sekuler-hedonistik (Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, 2005).
Para pengguna internet tentunya akan bersikap hedonistik ketika secara kultural berselancar (surfing) tanpa ada pegangan nilai-nilai normatif, baik diambil dari etika normatif maupun yang diambil dari etika kreatif (metaetika).
Andreas Harefa dalam bukunya Menjadi Manusia Pembelajar (2002: 101) mengatakan, internet bisa dimanfaatkan untuk mengubah "sikap hidup" dan "keterampilan untuk hidup" setiap pemakainya. Ia membaginya ke dalam tiga bentuk pembelajaran.
Pertama, para pengguna internet (user) sedang "belajar melakukan". Kedua, mereka sedang menambah pengetahuan dengan cara mencari informasi tanpa beranjak dari meja dan kursi (belajar tentang). Dan, ketiga, dengan menggunakan internet mereka sedang belajar mempraktikkan dan belajar tentang pelbagai teori, sehingga dapat dipastikan jika itu akan mengubah sikap dan keterampilan hidup pemakai internet.
Maka, menggelorakan etika literasi di Indonesia adalah suatu keniscayaan. Mari kita gagas "etika literasi" buat pengguna internet, supaya kita tidak jadi manusia yang dilingkari ketakberadaban sikap dan laku.
Akhirnya, layak saya pikir jika kita merenungi pepatah-petitih Ali Syari'ati, sang filosof Iran, "….semakin tinggi perkembangan sains dan teknologi, maka semakin tinggi pula manusia menuju kebiadaban". Agar kemajuan teknologi dan sains tidak menjadikan kita sebagai manusia biadab, UU ITE sejatinya dibarengi dengan pemberian langkah-langkah etis dan moralistik ketika berselancar di dunia maya.