NUBANDUNG – ”Saya enggak mau kerja di bawah telunjuk orang lain!” Kalimat singkat sarat makna itu terlontar dari mulut Dede Koswara, petani labu di Desa Cukanggenteng, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Pernyataan tersebut disampaikan Dede menjawab pertanyaan mengenai pilihannya menjadi petani. Sebuah pekerjaan yang bukan termasuk favorit kaum milenial. Namun, pria berusia 31 tahun ini mantap menekuni pekerjaan tersebut.
Dede berkisah, selepas lulus sekolah menengah kejuruan (SMK) ia ditawari sang ayah untuk berkuliah atau masuk satuan kepolisian. Namun, Dede mengambil pilihan lain. Ia mau hidup merdeka, menjalani pekerjaan tanpa disetir orang lain.
Panggilan jiwa akhirnya menuntun Dede untuk mengikuti jalur hidup ayahnya, menjadi petani. Ia beranggapan profesi ini bukan pekerjaan rendahan. Sebab, petani punya peranan penting untuk kemaslahatan hidup orang banyak.
Pada 2010, Dede mulai bertani menanam tomat di lahan pemberian orang tua. Ia tidak hanya bertani, tetapi mempelajari proses distribusi komoditas.
”Awalnya saya minta (tanah) 100 tumbak ke orang tua, itu berarti sekitar 1400 meter persegi. Awalnya untuk menanam tomat. Menanam sendiri, dibawa (menjual) sendiri, saya ngikutin pola orang tua. Menanam tomat itu dari (lahan) 100 tumbak pelan-pelan bisa memperluas (lahan) jadi 200 tumbak, 300 tumbak. Ditambah lagi komoditasnya tanam jagung dan cabe,” kata Dede beberapa waktu lalu.
Dilakukan Sendiri
Dede benar-benar mendalami pengetahuan di bidang pertanian. Ia tak sekadar bertani, lalu panen dan menjualnya ke tengkulak dengan harga jual pas-pasan. Sejak awal Dede mendistribusikan hasil taninya sendiri ke pasar-pasar sampai ke Cirebon hingga Tangerang, dengan mengendarai mobil pikap.
Ia tidak puas hanya menanam dan memasarkan tomat, cabai, dan jagung. Ia merasa harus menanam dan memasarkan lebih banyak lagi komoditas, agar tak sengsara begitu ada satu komoditas yang harganya anjlok.
Suatu ketika pada 2016, seorang pedagang di Tangerang meminta Dede untuk mengirimkan labu siam. Sayuran yang di Jawa Barat disebut labu acar itu ternyata cukup tinggi permintaannya.
Meskipun tidak memiliki stok labu acar di lahannya, Dede menyanggupi permintaan tersebut. Ia menghubungi kolega-kolega petani di desanya yang menanam labu acar dan mengumpulkan hasil panen mereka.
”Awalnya gini, ada pedagang di Tangerang itu minta dikirim labu (acar), saya enggak kenal awalnya sama orangnya. Tapi saya coba saja, ambil labu dari petani, minta ke beci (pengepul) di sini. Saya kirim awalnya dua kuintal. Setelah itu terus bertambah pesanan,” imbuh Dede.
Bermula dari situ, Dede berinisiatif untuk menanam labu di lahannya. Sayuran yang biasa dijadikan lalapan ini ternyata menghasilkan untung besar buatnya.
Dede menguraikan, untuk menanam labu dibutuhkan modal sekitar 15 juta untuk setiap 1.400 meter persegi. Modal tersebut mencakup biaya garap lahan, bibit, serta paranggong (deretan bambu tempat merambatnya pohon labu).
”Setelah empat bulan tanam labu bisa panen setiap dua hari sekali,” ungkap Dede.
Omzet Menggiurkan
Selain memanen dan memasarkan labu dari lahan pribadi, Dede juga mengumpulkan labu dari petani desa yang sudah diakomodasi oleh para pengepul yang biasa disebut beci. Dede juga membentuk Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Reggeneration (Regge) untuk mengakomodasi aktivitas para petani dan beci.
”Gapoktan ini saya buat untuk apa, agar harga beli itu semakin transparan. Di Gapoktan Regge ini menerapkan transparansi harga beli dari petani ke beci hingga harga jual ke pasar. Jadi tidak ada lagi oknum yang beli dengan harga seenaknya,” jelas Dede.
Setiap harinya, Dede bisa membeli 20-40 ton labu dari para beci. Labu-labu tersebut dipasarkan ke beberapa pasar di Cirebon, Tangerang, dan Bogor.
Dari aktivitas pemasaran labu tersebut, Dede bisa mengantongi omzet 50-100 juta per hari. Namun, ia tidak hanya berorientasi mencari keuntungan buat pribadi. Dede menyisihkan sedikit penghasilannya untuk simpanan di Gapoktan Regge yang beranggotakan 2.100 orang.
”Uang itu dipakai kalau misalnya harga sayuran anjlok, untuk stabilkan harga. Maksudnya untuk subsidi ke petani. Dari uang itu juga bisa jalan-jalan anggota Gapoktan juga buat acara sosial, seperti qurban dan sunatan massal tahun lalu,” jelas Dede.
Dede membuktikan petani bukanlah pekerjaan rendahan. Ia sudah mampu membangun rumah mewah serta membeli mobil berharga ratusan juta.
Diolah dari detik.com