NUBANDUNG – Masih kuat dalam ingatan Wilson Yanaprasetya (36) mengenai kehidupan masa kecilnya di Banyuwangi, Jawa Timur. Lokasinya yang lumayan jauh dari perkotaan, membuat harga berbagai kebutuhan sehari-hari di daerahnya jauh lebih mahal.
“Saya masih mending, karena jarak ke pasar enggak begitu jauh. Tapi teman saya di Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT), sudah mahal, jauh pula dari pasar,” ujar Wilson di Bandung.
Berangkat dari pengalaman dan pendidikan di Universitas Bristish Columbia, Kanada, Wilson bersama 3 temannya membangun aplikasi bernama Dagangan. Aplikasi yang dibuat pada akhir 2019 itu adalah aplikasi digital social-commerce yang menyediakan berbagai kebutuhan rumah tangga mulai dari bahan pokok, produk segar, hingga kebutuhan harian lainnya secara eceran dan grosir.
Wilson memulai bisnis mereka di Jawa Tengah. Ia memilih Jateng, karena infrastruktur di provinsi ini dinilai belum memadai. Sebelum pandemi atau sekitar akhir 2019, ia menyusuri Magelang untuk mengetahui kebutuhan masyarakat desa di sana.
"Magelang dikelilingi 4 gunung, salah satunya Merapi. Dari kota sekitar 40-50 kilometer," ujar Wilson.
Untuk ke pasar, masyarakat di sana harus turun gunung melalui kontur jalan naik turun. Kondisi ini tentu saja menghabiskan cukup banyak waktu. Jadi, saat mereka ke pasar, para warga ini harus ikhlas kehilangan banyak penghasilan.
Persoalan infrastruktur ini membuat harga di sana tinggi. Perbandingannya 30-50 persen lebih. Misal, harga Teh Pucuk di minimarket Rp 3.000, di desa tersebut mencapai Rp 5.000-6.000 Ia menilai, disparitas harga terjadi karena persoalan logistik. Dari produsen, barang harus melalui beberapa supply chain atau sejumlah orang.
"Infrastruktur susah, orang (konsumen) lebih sedikit, jadi mahal. Salesnya Aqua tidak mungkin drop ke puncak 1-2 boks saja. Jadi lemparnya ke toko grosir besar yang jaraknya jauh," kata dia.
Memberdayakan warga
Untuk mengoptimalkan aplikasinya, Wilson memberdayakan warga desa menjadi reseller atau penjual. Para warga yang diberdayakan terutama ibu rumah tangga. Saat ini ada 20.000 reseller yang terdaftar.
Dari jumlah itu, yang aktif sekitar 50 persen. Para reseller ini menjadi drop off point. Mereka menampung pesanan dari warga di desa, kemudian memesan via aplikasi Dagangan.
Dalam 24 jam, barang sudah ada di reseller dan bisa diambil pembeli dengan harga pasar. Para reseller ini nantinya akan mendapatkan keuntungan komisi 4-8 persen dari barang yang dipesan, serta mendapatkan poin.
Setelah berhasil di Jateng, Dagangan kemudian merambah Jawa Barat. Saat ini, setidaknya Dagangan sudah ada di 3.000-an desa di beberapa provinsi di Jawa seperti Jateng dan Jabar.
“Kami akan fokus di Pulau Jawa dulu. Kami lebih memilih memperdalam (pasar) dibanding memperluas,” ucap dia.
Sebab, menurut Wilson, kebutuhan masyarakat desa di Jawa belum terpenuhi semua. Saat ini, pihaknya sudah menyalurkan lebih dari 3.000 jenis barang. Namun, jumlah itu masih kurang. Untuk itu, pihaknya terus menambah keragaman produk. Termasuk produk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dari desa yang ia serap, karena tujuannya memajukan ekonomi desa.
“Kami bukan pemain warung, tapi infrastruktur player. Saat ini kami drop barang 300-400 per hari per daerah. Daerah yang kami kelola ada 20,” tutur dia.
Salah satu reseller Dagangan, Ayu Widayanti (27) mengaku beruntung kenal Dagangan. Awalnya, warga Arjasari Bandung ini konsumen Dagangan. Ia memilih membeli ke Dagangan, karena kesulitan pergi ke pasar. Selain membutuhkan waktu 20 menit untuk ke pasar, ia memiliki anak berusia 2 tahun.
“Pasar terdekat 20 menit, tapi enggak komplet. Kalau yang komplet harus ke Banjaran, lebih jauh lagi,” ucap dia.
Kemudian, Ayu mendapat informasi soal menjadi reseller. Ia pun memutuskan jadi reseller karena saudara dan tetangganya suka ikut memesan. Dari reseller ini, ia mendapat keuntungan lumayan. Dalam sebulan, ia biasanya belanja Rp 3 juta, mulai dari sayur, sembako, bumbu, dan lainnya. Dari jumlah itu, ia mendapatkan komisi.
“Ada insentif emas juga. Programnya untuk satu tahun ini. Saya terbantu banyak,” tutur dia.