Saya mencoba meresapi salah satu esay yang ditulis Cak Nun dalam buku berjudul: “Slilit sang Kyai”. Merinding, takut, ngeri, dan lahirlah kesadaran purba bahwa hidup tak seharusnya menjadi budak harta. Slilit, adalah sisa-sisa makanan yang masih menyempil di setiap sudut gigi kita.
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) merangkai kisah yang cukup menggedor kesadaran saya. Sang kyai, yang masih menyisakan slilit bekas menghadiri acara kenduri di sebuah kampung ternyata dipanggil Tuhan. Singkat kata, dalam mimpi santrinya sang kyai tersebut datang memberi kabar. Dirinya di alam baqha berada dalam ridha-Nya.
Satu hal yang membuat masygul adalah slilit yang ada di gigi sang kyai. Waktu itu, kata sang kyai kepada santrinya bahwa slilit itu membuatnya merasa bersalah. Sebab, sewaktu selesai acara kendurian, beliau lupa mencabutinya dengan tusuk gigi. Sehingga ketika pulang dari acara tersebut sang kyai menambil potongan kayu dari pagar orang untuk dijadikan tusuk gigi.
Alankah sedihnya kyai, karena hingga akhir hayat tak sempat mengucap maaf kepada si empunya pagar. Tuhan, di alam baqha sana meminta pertanggungjawaban kepada kyai atas keteledorannya itu. Dalam mimpi santri tersebut kyai mengutarakan maksudnya untuk meminta maaf.
Coba Anda bayangkan, kalau yang diambil oleh para pejabat adalah kayu-kayu gelondongan dari hutan di Kalimantan, Papua, Sumatera, Sulawesi, dan daerah lainnya. Saya tak pernah membayangkan, sebesar apa pertanggungjawaban yang mereka pikul? Wallahu’alam bishshawab.
Apalagi slilit sang pejabat tidak sekecil slilit sang kyai. Lemak yang tertimbun di tubuh koruptor adalah slilit yang sudah mendarah daging. Untuk mengeluarkannya juga tak memerlukan kayu yang diambil dari pagar orang lain. Melainkan dari hutan belantara di Kalimantan. Terbayang dosa-dosa yang terkumpul dan kalau mereka percaya adanya hari penghisaban (yaumulhisab); Tuhan akan berkacak pinggang ketika mengadili sang koruptor. Mereka akan terkencing-kencing di hari itu.
Kisah sang kyai dan slilit dari Cak Nun, membuat kita berpikir ulang kalau hendak mengambil milik orang lain. Slilit koruptor bukan remah-remah daging seperempat centi meter; tapi dapat menyejahterakan keluarganya sampai tujuh turunan. Saya jadi tak begitu ngeh ketika membaca esay Cak Nun, hingga tak kuasa menambatkan cita-cita menjadi pejabat negara ini.
Karena, selain rajin membiarkan slilit bertumpuk hingga puluhan kilo di tubuhnya, pejabat juga rentan menambil dan mematahkan pagar orang lain. Ih, amit-amit jabang bayi kalau kerjaan pejabat hanya curhat dan curhat saja, ketimbang menghilangkan tradisi “berselilit ria”. Wassalam