Di dalam mencari rezeki, hasil akhir bukanlah segala-galanya. Yang terpenting ialah gaya atau cara mendapatkan rezeki. Sebab, ketika hasil yang harus dijadikan ukuran, para penjual narkoba juga mendapatkan hasil yang melimpah ruah.
Dalam bahasa lain, harta bukanlah tujuan utama dalam mencari rezeki, tetapi kehalalan lah yang menjadi tujuan utamanya.
Ingat, kriteria penilaian Allah bukanlah harta dan kekayaan. Biarlah hari ini tidak ada yang membeli, asalkan kita tetap sabar dan tawakal; insyaallah akan mendapatkan pahala dari-Nya. Usaha yang kita lakukan untuk mencari rezeki juga menjadi berkah, bukan menjadi musibah pada hari kelak di yaumilhisab.
Rezeki Bukan hanya Kekayaan
Pemahaman bahwa rezeki tak sekadar harta dan kekayaan, harus kita tancapkan kuat-kuat dalam pemikiran, sikap dan tindakan. Sehingga kita menjadikan harta sebagai titipan ilahi. Kita juga akan menjadi orang bahagia karena ditakdirkna menjadi orang yang bahagia dengan hartanya.
Kita tidak menjadi manusia pelit untuk membelanjakan harta di jalan Allah dan selalu mengeluarkan zakat. Inilah yang disebut dengan kita memilih takdir terbaik di kehidupan ini, sehingga kita dapat menemukan kebahagiaan yang hakiki.
Di dalam agama kita (Islam) mencari harta tidaklah dilarang, malah justeru diwajibkan. Tetapi jika harta tersebut bisa membuat kita lupa akan tugas utama sebagai abid dan khalifah, maka harta tersebut madharat bagi kita. Andaikan kita sampai lupa akan tugas itu, maka tunggulah balasan (siksa) yang berat dari Allah saat kita menjadi penghuni neraka kelak.
Allah Swt., berfirman, "Janganlah berbuat demikian (menumpuk harta sampai melupakan kematian), jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat siksanya dalam neraka jahanam." (QS. At-Takatsur [102]:5-6).
Harta bukanlah perkara yang dibenci oleh Allah, tetapi jika karenanya manusia menjadi lalai, maka alangkah baiknya jika kita membatasi diri agar tidak "gelap mata". Memang, dengan harta yang berlimpah kita dapat melakukan banyak hal. Di dalam Islam pun banyak amal(ibadah) yang membutuhkan harta, misalnya ibadah haji, zakat, sedekah, dan yang lainnya.
Tapi sekali lagi, harta bukanlah segalanya. Masih banyak kebajikan lain yang dapat dilakukan meskipun dengan tidak menggunakan harta yang banyak. Kita masih bisa berkata santun dan sopan, tidak menyakiti hati orang lain, jujur, adil, amanah, pemaaf, dan yang lain lagi.
Bagi seorang pekerja, ia menunjukkan profesionalitas dalam menyelesaikan pekerjaannya. Hal ini, saya rasa dapat dilakukan walau tanpa memiliki harta berlimpah. Mencari harta untuk kebutuhan dan kebahagiaan hidup di dunia memang tidak pernah dilarang Islam.
Tetapi jika harta yang didapat bisa membuat manusia lupa akan tugas-tugas lain dalam hidup ini, seperti beribadah kepada Allah dan dan berbuat baik kepada sesama, maka harta tersebut kelak akan merugikan kita di akhirat kelak.
Jadi, rezeki tidak identik dengan harta dan kekayaan. Rezeki itu ialah seluruh yang kita peroleh dalam hidup ini,yang membuat kita merasa bahagia di dunia. Di dalam setiap helaan nafas, bagi saya, terkandung rezeki.
- Dengan tubuh yang kita miliki dilengkapi organ pernafasan yang masih berfungsi, diri ini masih bisa beraktivitas.
- Dengan nafas inilah, Ruh tidak meninggalkan kita.
- Dalam bahasa lain, kita masih bisa mencari rezeki dengan cara yang beragam dan halal.
Cara Halal Dapat Harta
Satu hal yang sering kita lupakan. Di era yang serba modern ini, orang tidak lagi memandang kehalalan cara ketika sedang mencari sebongkah materi. Bagi saya, kehalalan cara ditempatkan pada prioritas utama dalam bekerja dan berkarya. Pepatah orang tua dulu, “Apa pun pekerjaannya, yang penting halal” memang sangat filosofis.
Tujuan utama bekerja untuk mendapatkan sejumlah materi ialah dengan cara halal sehingga memeroleh hasil yang halal juga.Terkumpulnya sebongkah materi, tidak bersesuaian dengan konsep “rezeki” apabila tidak dicari dengan cara halal dan tidak digunakan demi kebaikan kolektif.
Makanya, daripada kaya harta tapi tak membahagiakan; mendingan kaya jiwa. Sebab, semiskin apa pun kita, jika jiwa kita begitu jaya, akan selalu berupaya mempertahankan hidup ini secara elegan.
• Tidak gampang putus asa.
• Tidak mudah mengeluh.
• Dan, tidak mudah berkata, “Tuhan, ENGKAU begitu tidak adil”.
Rezeki selalu terkait erat dengan kenikmatan dari Tuhan dan luap syukur dari seorang anak manusia. Selama dirinya memandang bahwa Tuhan begitu dekat, selama itu pula tak ada yang namanya pengingkaran terhadap nikmat-Nya. Kecilnya penghasilan atau gaji dalam sebulan, selalu digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan keluarga.
Apalagi ketika penghasilannya besar; kita akan ikhlas dan bersedia berbagi kemelimpahan dengan para tetangga. Berapa pun yang kita hasilkan dalam sebulan, menjadi berlipat kebaikannya; inilah yang dinamakan rezeki. Kalau saja rezeki itu melulu diukur dengan sesuatu yang bersifat material, maka orang kafir pun diberi rezeki. Tetapi bukan itu makna rezeki bagi umat Islam.
Rezeki dalam kehidupan umat Islam ialah mediator kedekatan dengan sang MahaPencipta kehidupan, Allah Swt. Tuhan, seperti yang dibilang sebuah hadits Qudsi, begitu dekat dengan orang-orang miskin.
Ketika kita dengan ikhlas menyisihkan sebagian penghasilan kepada mereka, barulah materi tersebut bisa disebut dengan rezeki. Kalau hanya menjadi media ujub dan takabur, materi yang kita peroleh itu bukan rezeki namanya. Tetapi harta dan kekayaan.
Rezeki, saya ingatkan sekali lagi, tidak hanya soal materi dan harta benda. Rezeki juga berkait erat dengan kesehatan kita. Bahkan, saya berani mengatakan, kesehatan ialah rezeki yang paling berkah. Sebab, dengan kesehatan yang dimiliki, kita akan menikmati hidup dengan senang dan meyakinkan. Jadi, jagalah kesehatan. Jangan pernah mengabaikan kesehatan supaya rezeki menjadi berkah.
Kesuksesan Tak Diukur Kemelimpahan Materi
Saya merasa heran, hampir setiap gagasan di dalam buku motivasi Islam memahami rezeki secara sempit. Rezeki, katanya, melulu hanya diukur dengan kesuksesan material. Kesuksesan yang diukur hanya dengan kemelimpahan materi. Pengertian ini, sebetulnya, tidak salah juga.
Tetapi, yang lebih tepat, rezeki ialah segala sesuatu yang memiliki manfaat. Bukan saja yang kita rasakan dan nikmati sendiri. Rezeki ialah apa yang bisa dirasakan orang lain juga.
Kita, misalnya, mendapatkan gaji dari tempat kerja, kemudian gaji tersebut digunakan untuk biaya pengobatan tetangga yang sakit. Nah, ini juga bisa disebut dengan rezeki, kendati gaji tersebut tidak dapat Anda nikmati. Jadi, salah apabila ada orang yang mengatakan “Ah….itu bukan rezeki saya” ketika gajinya habis digunakan untuk membiayai tetangganya yang sedang sakit.
Sebab, di akhirat nanti apa yang telah dilakukannya akan mendapatkan balasan super berkah dari Allah Swt. Arti “mencari rezeki” juga tidak sebatas bekerja dan berusaha; tapi menggenjot kemampuan diri untuk berbagi dengan sesama. Ketika orang lain merasa gembira dengan apa yang kita lakukan, kita telah mendapatkan rezeki berlipat-lipat.
Menurut saya, sedekah ialah pelipatgandaan rezeki. Dengan sedekah sebetulnya kita sedang menabung dengan bunga yang berlipat-lipat di akhirat kelak. Sedekah ialah usaha mencari rezeki juga, yakni rezeki kita sebagai bekal di akhirat kelak.
Saya tidak setuju bila sedekah diasosiasikan dengan pelipatgandaan yang akan diperoleh di dunia ini. Ada orang yang bilang, bahwa dengan bersedekah sekian ribu akan mendapatkan sekian ratus ribu. Pemahaman ini tidak salah juga. Tetapi kurang bijaksana.
Kalau saja niat kita bersedekah hanya mendapatkan pelipatgandaan dari Tuhan di dunia, hati-hatilah bahwa ketulusan dan keikhlasan kita dilumuri praktik syirik (menyekutukan Allah).Sekarang marilah kita rubah pendirian serta sikap kita tentang harta-benda. Kita boleh mencarinya tetapi tidak untuk bermegah-megahan dan melupakan kehidupan akhirat.
Yakinlah, bahwa harta yang kita belanjakan di jalan Allah tidak akan membuat kita jatuh miskin, tapi sebaliknya akan diganti dengan balasan yang berlipat ganda. Marilah kita berdoa semoga harta yang kita miliki dan kita belanjakan tidak menjadi belenggu api yang dikalungkan di leher kita saat di akhirat kelat. Tetapi akan membawa kita kepada ridha Allah dalam surga firdaus-Nya.
Ketentuan Tuhan
Ada pribahasa Agama yang kerap kita lupakan. Bahagia, susah, senang dan kaya atau miskinnya seseorang adalah ketentuan Tuhan. Serupa dengan siang dan malam yang selalu terjadi atau kemarau dan hujan yang datang silih berganti.
Semua merupakan ketentuan-Nya yang tidak bisa diganti lagi. Sehingga, dari ketentuan ini banyak orang yang mengatakan bahwa, dalam kehidupan, bahagia ataupun susah adalah ketentuan dan takdir yang datang dari-Nya.
Yang dikehendaki Allah adalah orang mampu mengubah kesusahannya dengan segala potensi yang ada pada dirinya. Jika si miskin sebetulnya bisa bangkit dalam hidupnya dan menggunakan segala potensi yang ada padanya.Karena itu, secara bertahap ia akan berubah dan suatu saat akan mendapati kehidupan yang lebih baik.
Tentu saja perubahannya tidak akan terjadi secara serta-merta. Sesuai dengan hukum alam (sunatullah), maka selangkah demi selangkah mereka akan berhasil. Kebanyakan manusia memandang bahwa rezeki adalah berupa harta-benda yang dikaruniakan kepadanya.
Di sisi lain, manusia pun memiliki sifat tidak puas, terutama soal harta. Bahkan, jika ia telah memiliki segunung emas, ia akan berpikir keras dan berusaha lagi agar emasnya menjadi dua gunung. Keluarga yang baik, pekerjaan yang baik, lingkungan yang baik itu adalah rezeki Allah. Ini merupakan rezeki yang tidak ternilai harganya.Apabila ditanya tentang kebahagiaan, setiap orang pastinya akan menjawab ingin hidup bahagia.
Tapi jika ditanya lagi kebahagiaan seperti apa yang diinginkan dan bagaimana cara menggapainya, terdapat banyak vareasi jawaban.
• Ada yang menjawab ingin harta yang banyak dan dia akan bahagia.
• Ada yang menjawab dengan jabatan yang tinggi maka ia akan hidup senang.
• Ada juga yang menjawab ingin mempunyai isteri seperti bidadari maka ia akan menjadi orang yang paling bahagia di dunia ini.
Kenapa Jawabannya Selalu Material
Hampir semua jawaban selalu mengacu kepada hal-hal yang bersifat materil. Kepemilikan harta, jabatan dan wanita sering dijadikan indikator seseorang hidup bahagia. Benarkah demikian? Bukankah kebahagiaan itu berasal dari kepuasan dan ketenangan hati? Tapi, saya ulangi sekali lagi, harta bukanlah segalanya dalam kehidupan ini.
Karena, masih banyak kebajikan yang dapat kita lakukan meskipun dengan tidak menggunakan harta. Kita masih bisa berkata santun, bersikap sopan, tidak menyakiti hati orang lain, jujur dalam bicara, adil dalam berbuat, amanah dalam amanat, dan bijak dalam berpikir.
Saya rasa hal ini dapat dilakukan walau tanpa kepemilikan harta yang berlimpah. Kalau begitu kenyataannya, bagaimana nasib seorang miskin yang sedang memungut sampah atau sipengemis yang sedang meminta-minta di trotoar jalan di lampu merah. Apakah pada suatu saat nanti mereka akan merasakan kenikmatan dan kebahagiaan dengan memiliki harta yang berkecukupan ubahnya seorang pejabat? Jawabannya, adalah pasti.
Jika Tuhan menghendaki, maka dengan keajaiban-Nya simiskin tadi dengan serta-merta akan berubah menjadi orang yang kaya-raya. Tapi yang jadi pernyataan, bagaimana jadinya jika Tuhan tidak menghendaki simiskin itu menjadi orang kaya? Ya, tentunya ia harus puas menjadi miskin seumur hidup atau bahkan sampai tujuh turunan.
Jika demikian, alangkah nahas dan meruginya ia yang telah ditakdirkan menjadi orang susah di dunia ini, dan akan lebih nahas lagi apabila ia tidak pernah menjalankan perintah-perintah Tuhan. Hidup di dunia sengsara dan di akhirat masuk neraka. Karena itu, jangan melihat harta-benda orang lain yang sedang bergelimang, sebab itu adalah giliran mereka.
Yakinlah, suatu saat nanti, kita pasti dapat merasakan kebahagiaan dan harta melimpah seperti yang mereka miliki sekarang. Keinginan ini akan terbukti jika kita terus menerus mencari rezeki dan tidak memahami bahwa rezeki itu sama dengan harta, benda, dan kekayaan.
Dengan pemahaman seperti itulah, kita tidak mementingkan hasil; tetapi mementingkan proses atau usaha yang maksimal ketika mencari rezeki.