Penulis Cecep Hasanuddin
Siapa yang belum pernah berbuat riya? Anda tahu riya, bukan? Atau, sebenarnya Anda sudah berbuat riya sejak puluhan tahun, tetapi Anda tidak menyadarinya telah berbuat begitu? Nah, itu bagus!
Kenapa bagus? Karena kami ingin seperti Anda. Ingin belajar dari Anda. Bisakah Anda tunjukkan ke kami bagaimana supaya kami mahir dalam berbuat riya, bahkan setiap hari? Please! Kalau Anda punya kemampuan, jangan pelit. Jangan disembunyikan, tapi bagikan ke kami.
Baiklah. Kalau memang Anda masih malu-malu menunjukkan caranya atau Anda sungkan karena malu, misalnya, kami akan cari sendiri. Siapa tahu, sumber yang kami cari lebih update to date dibanding Anda. Doakan kami, ya.
Bila kami akhirnya menemukan kiat berbuat riya, dan ternyata cara yang kami temukan ini lebih gampang dipraktikkan, tentu kami tak sungkan membagikannya pada Anda. Bukan apa-apa, ini kami lakukan semata-mata untuk menjaga pertemanan dengan Anda. Tunggu, ya!
Hei, tahukah Anda, tak butuh waktu lama akhirnya kami menemukan trik, bahkan kiat melakukan riya dari seorang ulama legendaris. Siapa dia? Anda sebenarnya tahu, cuma, biar cepat kami kasih tahu segera. Ya, dialah Imam Al-Ghazali.
Nah, kiat melakukan riya dari Sang Hujjatul Islam ini, sebenarnya untuk mendeteksi atau untuk mengecek apakah kita sudah benar-benar berbuat riya atau tidak. Kata Al-Ghazali, riya dilakukan menggunakan dengan 5 hal:
Pertama, dengan menggunakan tubuh kita. Maksudnya gimana ini? Ah, masa Anda belum pernah melakukannya? Bukannya Anda lihai mempraktikannya? Gini maksudnya: kita menampakkan kesalehan dengan merekayasa tubuh kita. Contoh kongkritnya?
Tubuh orang yang dikuruskan untuk menunjukkan bahwa orang tersebut rajin berpuasa, atau orang yang menampakkan bekas sujud di dahinya untuk menunjukkan ketekunannya beribadah. Apa lagi? Orang dengan sengaja menggetarkan tubuhya ketika salat untuk menunjukkan betapa khusyuk dia shalat.
Kedua, yang dipakai sebagai alat untuk riya adalah pakaian atau penampilan lahiriah. Ini apa lagi maksudnya? Zaman dulu orang pakai baju compang-camping untuk menunjukkan bahwa dia seorang sufi. Pakainnya terbuat dari bahan yang kasar supaya disebut hidup sederhana.
Hal lain yang menunjukkan agar orang tersebut disebut saleh adalah memakai serban, membawa tasbih, dan memakai baju khusus. Kendati begitu, tak semua orang yang memakai atribut demikian sedang berbuat riya.
Ketiga, riya dilakukan dengan ucapan dan perbuatan. Nah, hal yang semacam ini tak sedikit orang melakukannya. Contoh, orang mengatur pembicaraannya supaya ia dikenal orang sebagai santri. Pun ia sering mengutip ayat-ayat Al-Quran dan Hadis. Ia tampakkan kesalehan itu dengan mengeluarkan kata-kata suci dari bibirnya.
Keempat, orang melakukan riya dengan perbuatan atau perilaku. Ah, kami pun sering mempraktikkannya. Nikmat sekali. Contohnya banyak sekali. Orang yang salat dengan memanjangkan ruku dan sujud untuk menampakkan kekhusyukan ketika ia mengimami orang banyak. Ia baca surah yang panjang, sedangkan ketika salat sendirian, ia baca surah yang pendek.
Ia menghafalkan surah-surah panjang hanya untuk ia tunjukkan kepada orang lain. Amal itu ia pergunakan untuk menimbulkan kesan kesalehan. Dan menampakkan kesalehan melalui ibadah-ibadah ritual adalah hal mudah. Sedangkan jika riya ditampakkan lewat sedekah/membantu orang adalah sulit karena butuh pengorbanan.
Kelima, orang melakuka riya dengan menunjukkan kawan-kawannya atau orang-orang saleh yang ia kenal. Gimana maksudnya? Jadi, agar seseorang dikenal sebagai orang yang hebat atau orang mulia, ia ceritakan sahabat-sahabatnya. Ia ceritakan hubungannya dengan orang-orang terkenal.
Yang perlu diingat: tak semua perbuatan kita untuk mengatur perilaku kita adalah riya. Jika kita atur penampakan lahiriah kita untuk, misalnya, memberikan contoh baik kepada orang lain supaya orang lain mengikuti teladan kita, maka hal itu bukanlah riya.
Riya tidak diukur dari terlihat atau tidaknya sebuah amal, tapi diukur dari tujuan amal itu dilakukan. Riya jangan digunakan untuk menilai orang lain, tapi gunakanlah untuk menilai diri sendiri.
Gimana, mudah betul, bukan berbuat riya itu? Praktis, bukan?
Nah, kelima kiat melakukan riya tersebut semuanya ada di dalam buku keren dan legendaris karya almarhum Jalaluddin Rakhmat berjudul The Road To Allah: Tahap-Tahap Perjalanan Ruhani Menuju Tuhan!
Kenapa bagus? Karena kami ingin seperti Anda. Ingin belajar dari Anda. Bisakah Anda tunjukkan ke kami bagaimana supaya kami mahir dalam berbuat riya, bahkan setiap hari? Please! Kalau Anda punya kemampuan, jangan pelit. Jangan disembunyikan, tapi bagikan ke kami.
Baiklah. Kalau memang Anda masih malu-malu menunjukkan caranya atau Anda sungkan karena malu, misalnya, kami akan cari sendiri. Siapa tahu, sumber yang kami cari lebih update to date dibanding Anda. Doakan kami, ya.
Bila kami akhirnya menemukan kiat berbuat riya, dan ternyata cara yang kami temukan ini lebih gampang dipraktikkan, tentu kami tak sungkan membagikannya pada Anda. Bukan apa-apa, ini kami lakukan semata-mata untuk menjaga pertemanan dengan Anda. Tunggu, ya!
Hei, tahukah Anda, tak butuh waktu lama akhirnya kami menemukan trik, bahkan kiat melakukan riya dari seorang ulama legendaris. Siapa dia? Anda sebenarnya tahu, cuma, biar cepat kami kasih tahu segera. Ya, dialah Imam Al-Ghazali.
Nah, kiat melakukan riya dari Sang Hujjatul Islam ini, sebenarnya untuk mendeteksi atau untuk mengecek apakah kita sudah benar-benar berbuat riya atau tidak. Kata Al-Ghazali, riya dilakukan menggunakan dengan 5 hal:
Pertama, dengan menggunakan tubuh kita. Maksudnya gimana ini? Ah, masa Anda belum pernah melakukannya? Bukannya Anda lihai mempraktikannya? Gini maksudnya: kita menampakkan kesalehan dengan merekayasa tubuh kita. Contoh kongkritnya?
Tubuh orang yang dikuruskan untuk menunjukkan bahwa orang tersebut rajin berpuasa, atau orang yang menampakkan bekas sujud di dahinya untuk menunjukkan ketekunannya beribadah. Apa lagi? Orang dengan sengaja menggetarkan tubuhya ketika salat untuk menunjukkan betapa khusyuk dia shalat.
Kedua, yang dipakai sebagai alat untuk riya adalah pakaian atau penampilan lahiriah. Ini apa lagi maksudnya? Zaman dulu orang pakai baju compang-camping untuk menunjukkan bahwa dia seorang sufi. Pakainnya terbuat dari bahan yang kasar supaya disebut hidup sederhana.
Hal lain yang menunjukkan agar orang tersebut disebut saleh adalah memakai serban, membawa tasbih, dan memakai baju khusus. Kendati begitu, tak semua orang yang memakai atribut demikian sedang berbuat riya.
Ketiga, riya dilakukan dengan ucapan dan perbuatan. Nah, hal yang semacam ini tak sedikit orang melakukannya. Contoh, orang mengatur pembicaraannya supaya ia dikenal orang sebagai santri. Pun ia sering mengutip ayat-ayat Al-Quran dan Hadis. Ia tampakkan kesalehan itu dengan mengeluarkan kata-kata suci dari bibirnya.
Keempat, orang melakukan riya dengan perbuatan atau perilaku. Ah, kami pun sering mempraktikkannya. Nikmat sekali. Contohnya banyak sekali. Orang yang salat dengan memanjangkan ruku dan sujud untuk menampakkan kekhusyukan ketika ia mengimami orang banyak. Ia baca surah yang panjang, sedangkan ketika salat sendirian, ia baca surah yang pendek.
Ia menghafalkan surah-surah panjang hanya untuk ia tunjukkan kepada orang lain. Amal itu ia pergunakan untuk menimbulkan kesan kesalehan. Dan menampakkan kesalehan melalui ibadah-ibadah ritual adalah hal mudah. Sedangkan jika riya ditampakkan lewat sedekah/membantu orang adalah sulit karena butuh pengorbanan.
Kelima, orang melakuka riya dengan menunjukkan kawan-kawannya atau orang-orang saleh yang ia kenal. Gimana maksudnya? Jadi, agar seseorang dikenal sebagai orang yang hebat atau orang mulia, ia ceritakan sahabat-sahabatnya. Ia ceritakan hubungannya dengan orang-orang terkenal.
Yang perlu diingat: tak semua perbuatan kita untuk mengatur perilaku kita adalah riya. Jika kita atur penampakan lahiriah kita untuk, misalnya, memberikan contoh baik kepada orang lain supaya orang lain mengikuti teladan kita, maka hal itu bukanlah riya.
Riya tidak diukur dari terlihat atau tidaknya sebuah amal, tapi diukur dari tujuan amal itu dilakukan. Riya jangan digunakan untuk menilai orang lain, tapi gunakanlah untuk menilai diri sendiri.
Gimana, mudah betul, bukan berbuat riya itu? Praktis, bukan?
Nah, kelima kiat melakukan riya tersebut semuanya ada di dalam buku keren dan legendaris karya almarhum Jalaluddin Rakhmat berjudul The Road To Allah: Tahap-Tahap Perjalanan Ruhani Menuju Tuhan!