Penulis Sukron Abdilah
Jawa Barat sebetulnya menyimpan aneka potensi yang dapat dijadikan modal sosial untuk mengangkat warga dari pelbagai keterpurukan. Secara sosiologis, warga di tatar Sunda memegang teguh relasi sosial yang menggambarkan saling tolong menolong dan bahu membahu atau populer dengan istilah “sabilulungan” tatkala mengerjakan sesuatu.
Jika dipraktikkan, konsep “sabilulungan” tersebut akan memacu semangat kolektif warga dan pemerintah guna mengeluarkan diri dari jurang menganga kemiskinan struktural. Tentunya dengan melakukan aneka bentuk pemberdayaan masyarakat (community development) pada ranah perekonomian, kesehatan, dan paling utama adalah pendidikan.
Ketiga indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tersebut tidak akan berada pada posisi aman jika saja konsep “sabilulungan” sebagai dasar gotong royong tidak diejawantahkan.
Oleh karena itu, sebagai energi kolektif yang dapat memberikan keuntungan bagi arah pembangunan, konsep “sabilulungan” menjadi penting dan mendesak untuk dijabarkan di wewengkon Tatar Sunda.
Sebab hal itu bisa dijadikan mobilisator kesadaran kolektif tiap warga agar mereka dapat berempati dan mentransformasi kondisi “acak-acakan” anggota masyarakat lain hingga beringsut lebih baik.
Bahkan, tatkala di dalam hati sanubari aparatur pemerintahan tertancap kuat prinsip hidup yang saling bahu membahu, mereka tidak akan “cuci tangan” ketika didaerah administrasi kepemimpinannya bertebaran kesenjangan sosial.
Gotong royong
Cermin kerjasama antar-komponen penduduk dalam khazanah kesundaan kerap diistilahkan dengan pribahasa “sabilulungan dasar gotong royong”. Misalnya dalam tradisi masyarakat pedesaan masih ada satu-dua desa bahkan ratusan desa di Jawa Barat melaksanakan program bebersih kampung bersama-sama.
Juga seperti yang masih konsisten dipraktikkan masyarakat pelosok Sumedang, di daerah sana terdapat tradisi luhung dan agung yakni bergotong royong membantu pembangunan rumah salah satu anggota masyarakat tanpa memungut bayaran.
Sebetulnya konsep “sabilulungan” dapat dipraktikkan masyarakat dan pemerintahan untuk mengentaskan angka kemiskinan. Bukan malah menetaskan warga miskin hingga jumlahnya mendekati angka sepuluh juta jiwa.
Maka, bagi pemerintah (karena berposisi sebagai fasilitator pembangunan) sudah semestinya melakukan program “saba desa” agar dapat menyaksikan kondisi riil masyarakat sehingga program gotong royong mengentaskan kemiskinan dapat berjalan sesuai harapan. Namun, program “saba desa” juga tidak arif rasanya jika terjebak pada kegiatan-kegiatan yang hanya dideterminasi kepentingan sesaat yang bermotif sesaat pula, misalnya, hanya untuk mengambil simpati rakyat karena masa pemilihan kepala daerah akan segera tiba.
Energi kolektif “sabilulungan” secara kontekstual sebetulnya merupakan kegiatan gotong roy ong (warga dan pemerintahan) dalam mengentaskan keberbagaian masalah di Jawa Barat. Tanpa energi kolektif tersebut, bisa-bisa proyek pemberdayaan masyarakat berjalan ditempat, mogok, macet, dan tidak bertransformasi ke arah yang terbaik.
Dengan demikian, “sabilulungan” adalah modal awal untuk mengeluarkan masyarakat tatar Sunda dari “virus” bern ama kesenjangan dalam aspek ekonomi, pelayanan kesehatan, dan akses pendidikan.
Jika melihat potensi ekologis di Jawa Barat, rasanya target tersebut sangatlah mudah tercapai, tetapi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan, secara tofografis juga daerah kita masih mernah untuk dijadikan ajang pemberdayaan masyarakat dengan memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah ruah.
Saking indah dan kayanya wilayah Pasundan ini, tidaklah heran jika M.A.W.Brouwer (2003) seorang kolumnis harian Kompas dari Belanda yang pernah menetap di Sukabumi dan Kota Bandung mengatakan bahwa Jawa Barat terjadi waktu Tuhan sedang tersenyum (gumujeng).
Manusia empatik
Franz Magnis-Suseno (1999) mengungkapkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan bertumpu pada martabat, yakni semacam pangkat yang dimiliki manusia sebagai seorang manusia utuh. Jika telah bermartabat, seorang manusia akan mengungkapkan keluhuran derajat yang membedakannya dengan makhluk-makhluk yang lain.
Selain itu, manusia juga merupakan makhluk yang memerlukan keberadaan dan bantuan orang lain; tanpa memiliki rasa empati terhadap sesamanya, konflik yang bersifat “objektif lahiriah” pun akan menghiasi kehidupan.
Misalnya, ketika warga di suatu daerah tidak terpenuhi hak-haknya untuk memeroleh kesejahteraan atau terjadi semacam kesenjangan sosial tentu saja akan terjadi kecemburuan yang dapat memercikkan api konflik. Maka, menciptakan manusia yang empatik terhadap nasib anggota masyarakat dalam relasi sosial ekonomi yang saat ini sedang jor-joran, sekarat, dan sebentar lagi mati merupakan kemutlakan yang tidak bisa dianggap sepele.
Pertanyaan yang patut direnungkan adalah, haruskah semuanya berjalan sendiri-sendiri ketika membangun lemah cai kita agar harkat, derajat dan martabat warga tatar Sunda terangkat? Tanpa mempraktikkan konsep hidup “sabilulungan”, saya rasa kita tidak akan memiliki energi yang cukup untuk membangun kesejahteraan di nagri yang dilukiskan M.A.W. Brouwer sebagai “home sweet home” ini.
Karena itu, kegiatan gotong royong yang dilandasi konsep “sabilulungan” bukan hanya sebatas dipahami kerja-bakti membersihkan jalan saja, melainkan sampai pada bekerjasama mengentaskan kesenjangan sosial.
Sebab, kesenjangan sosial di tatar Sunda telah menampakkan gejala yang menakutkan dan bisa dilihat dari angka kemiskinan, kesehatan dan pendidikan di daerah pelosok yang tergerus ke arah yang teramat mengkhawatirkan. Dalam bahasa lain, ada semacam ketimpangan di tubuh penduduk pasundan ini.
Last but not least, falsafah hidup “sabilulungan” hasil kreasi warga lokal pada konteks sekarang sangat mendesak untuk diimplementasikan, terutama oleh aparatur pemerintahan, agar rakyat tatar Sunda dapat keluar dari krisis multidimensi yang terus-terusan menggurita.
Semestinya penduduk Jawa Barat juga saling bahu-membahu dan berempati hingga melahirkan energi kolektif yang dapat memobilisasi usaha kritis-transformatif dalam memonitor pencapaian target IPM nanti.