Putut Wijanarko, Vice President Mizan Publika
NUBANDUNG - Kecanduan yang paling baik, kata orang, adalah kecanduan buku. Karena tidak akan membuat orang teler seperti kecanduan narkotik atau minuman keras, tidak akan membuat orang geleng-geleng kepala dengan cepat seperti pecandu pil ekstasi, atau paru-paru tergerogoti seperti pecandu rokok.
Nah, hasrat untuk membeli, membaca, menyimpan, dan mengagumi buku yang cenderung berlebihan disebut biblioholisme—sedang orangnya disebut biblioholik (seperti alkoholik untuk pecandu alkohol, dan workaholic untuk pecandu kerja). Akan tetapi, kita tahu, yang terlalu berlebihan selalu tak baik. Karenanya, seperti ditulis Tom Raabe dalam bukunya yang kocak tentang kebiasaan pecandu buku, Biblioholism, The Literary Addiction (Fulcrum Publishing, 1991), ada dua jenis biblioholisme: bibliomania (gila buku) dan bibliofil (cinta buku).
Yang membedakan keduanya adalah motivasi. Seorang bibliomania membeli buku hanya untuk menumpuknya, sedang bibliofil mengharap dapat menguras isi dan kebijakan dari buku-bukunya. Lihat saja Boulard, ahli hukum asal Prancis yang hidup pada abad ke-18. Begitu bernafsu membeli buku, hingga rumahnya tak cukup untuk menyimpan buku-buku. Dia sampai membeli enam rumah lagi untuk buku-buku itu. Orang yang bertamu harus ekstra hati-hati, kalau tidak mau tertimbun longsoran buku. Sampai meninggalnya, Boulard memiliki 600 ribu sampai 800 ribu jilid buku. Dan ketika diloakkan, semuanya baru habis setelah lima tahun. Problem kegilaan Boulard: dia tak membaca buku yang dia beli.
Bibliofil lebih waras: banyak membeli dan banyak membaca. Richard Heber, asal Inggris dan hidup pada abad ke-19, adalah contohnya. Sama dengan Boulard, koleksinya yang berjumlah 200 ribu sampai 300 ribu buku memaksa dia memiliki delapan rumah: dua di London dan enam lainnya tersebar di Inggris dan Eropa. Beda dengan Boulard, dia selalu membaca bahkan sampai akhir hayatnya.
Akan tetapi, apakah memang kita harus membaca semua buku yang kita beli? Supaya tetap menjadi bibliofil dan tak terperosok ke dalam jurang bibliomania, berapa persen buku milik kita yang harus kita baca? Sembilan puluh persen? Lima puluh persen? Atau hanya dua puluh persen? Jawbannya, kata Tom Raabe, berbeda setiap orang, dan hanya orang itulah yang tahu apakah ia gila atau cinta.
Lebih lanjut lagi, Tom Raabe mewejangkan, waspadailah beberapa “penyakit jiwa” aneh menyangkut kutu buku, karena ingin menaruh buku seaman-amannya, maka penderita penyakit bibliotaf (bibliotaph) akan mengubur buku-bukunya. Percaya bahwa masa depan manusia akan selamat jika buku karyanya selamat dari persengkongkolan penguasa dunia saat itu, John Stewart meminta pembacanya menyimpan buku-buku itu sebaik-baiknya. “Tempatkan dalam kotak antilembap, kuburkan sedalam tiga meter, dan rahasiakan tempatnya kecuali kepada orang kepercayaanmu,” imbaunya. Juga jangan seperti seorang bibliotaf yang meminta dikuburkan dengan buku-bukunya, dengan peti mati terbuat kayu bekas rak bukunya.
Jangan pula seperti penderita bibliokas (bibliocast) yang inginnya menghancurkan buku. Jika Anda ke perpustakaan, atau pinjam buku teman, lalu ada halaman yang menarik—entah isinya atau gambarnya—sampai-sampai Anda tak tahan jika tak memilikinya dan karenanya menyobek halaman itu: Awas, Anda seorang bibliokas, penghancur buku. Jangan berdalih, sebagian besar kita pernah melakukannya—dan sekarang, mudah-mudahan, sudah sembuh. Akan tetapi, ternyata beberapa orang terkenal punya kecenderungan bibliokas. Mary Shelley, pengarang Frankenstein yang terkenal itu, sering menyobek halaman kosong di awal atau di akhir buku dan membikin kapal kertas darinya. Charles Darwin membelah buku tebal menjadi dua agar mudah menentengnya ke mana-mana. Dan, tentu saja, bibliokas yang parah biasanya penguasa yang terlalu percaya pada kekuatan buku, dan memerintahkan membakar buku-buku yang tak disukai.
Yang lebih aneh lagi adalah bibliofagi (bibliophagi)—penderitanya memakan buku, dalam arti yang sesungguhnya. Sebagian orang pernah melakukannya: membakar buku pelajaran, abunya dicampur kopi lalu diminum dengan harapan isi buku itu menghunjam ke otak kita. Contoh lain: Ketimbang dihukum pancung, seorang penulis dari Skandinavia memilih pura-pura gila dengan memakan bukunya setelah direbus dalam air daging. Lebih malang lagi adalah Isaac Volmer yang juga harus makan bukunya tapi tanpa dimasak terlebih dahulu. Atau, Theodore Rinking, yang hidup pada abad ke-17, menerima tawaran memakan buku kontroversialnya—dan dia memesan saus khusus untuk itu—agar bebas dari penjara.
Yang terakhir, dan paling banyak penderitanya, adalah biblionarsisis (biblionarcissist). Dalam mitologi Yunani, kita tahu, Narcissus adalah seorang pemuda yang amat tampan—sampai-sampai dia jatuh cinta pada ketampanannya yang dia lihat terpantul dari sebuah kolam. Terus-menerus di pinggir kolam, tak makan dan minum, dia akhirnya mati, dan berubah menjadi bunga Narsisis. Nah, biblionarsisis mengoleksi buku—ensiklopedia komplet dengan lemari khusus, misalnya—hanya untuk berlagak, bermegah-megah, pamer, dan mengagumi diri sendiri. Menurut agama, itu riyâ’ (atau kita ganti saja istilahnya menjadi biblioriya’?).
Saya tidak tahu, Anda termasuk yang mana?[]
3 Agustus 1997
Judul asli tulisan ini ialah Biblioholisme, pertama kali dipublikasikan dalam rubrik Selisik Koran Republika dan dimuat dalam buku terbitan Mizan bertajuk: Elegi Gutenberg, Memposisikan Buku di Era Cyberspace.