Mang Tirjem sekarang aktif di salah satu partai terbesar negeri ini. Saat pemilihan kampanye yang lalu, dia girangnya minta ampun. Sebab, seminggu sebelum pencoblosan ia ketiban rezeki berlimpah. Pasalnya, suara Mang Tirjem sangat menentukan. Suaranya berharga 500 juta, broww!
Sudah beberapa hari ini juga, dia berada di luar pulau Jawa untuk memilih ketua partainya. Kadung saja, politikus tingkat daerah itu gembira tak berkepalang. Pergi-pulang ke luar Jawa diongkosi partai. Kabarnya, mang Tirjem sampai berdetak-detak jantungnya hendak meledak. Saking, merasa sebagai manusia karena suaranya dihargai 500 juta.
Saya tersenyum nyinyir. Di samping iri dengan nasib mang Tirjem, merasa bahwa suara saya tidak sejelek mang Tirjem. Tapi kenapa, ketika bersuara bukan 500 juta yang didapat?
Seperti halnya rakyat miskin. Suara mereka tidak seseksi dan semenarik kang Tirjem yang sekarang sedang menghitung duit di kamar hotel bintang lima. Ya, boleh kau bilang hidup penuh “gizi” memang mengasyikkan.
Duit yang kau punya, tentunya bisa dibelikan untuk panganan bergizi. Apalagi dalam beberapa hari, kau mendapatkannya hanya dengan menjual suara. Memilih siapa di antara siapa yang berani membayar suara Tirjem melebihi 500 juta.
Kadang saya juga meringis kesakitan. Sakit merasakan derita beban rakyat Indonesia. Karena saya sudah memproklamirkan diri menjadi rakyat, tentunya sudah masak asam garam menjadi rakyat sengsara. Dan, kesengsaraan ini kalau tak dibarengi bekal jiwa setangguh Himalaya, tentunya pisau dapur di mejamu bakal menusuk rongga dada. Membelah jiwa yang kecewa dengan laku bapak bangsa yang mengkhianati anak seribu bangsa ini, rakyat Indonesia.
Kadang saya juga meringis kesakitan. Sakit merasakan derita beban rakyat Indonesia. Karena saya sudah memproklamirkan diri menjadi rakyat, tentunya sudah masak asam garam menjadi rakyat sengsara. Dan, kesengsaraan ini kalau tak dibarengi bekal jiwa setangguh Himalaya, tentunya pisau dapur di mejamu bakal menusuk rongga dada. Membelah jiwa yang kecewa dengan laku bapak bangsa yang mengkhianati anak seribu bangsa ini, rakyat Indonesia.
Berbagai media cetak angkat suara memberitakan ikhwal sedekah politiknya para pemegang kemajuan bangsa. Pemilihan ketua partai politik Tirjem yang meriah. Bahkan, dikabarkan perlombaan golf juga menjadi ajang mendapatkan Bebi Benz.
Ayah saya, yang dulu bersahabat dengan Mang Tirjem di alam kubur pasti menangis. Betapa partai politik yang diperjuangkannya dulu menjadi ajang pasar untuk mendagangkan suara.
Ayah saya, yang dulu bersahabat dengan Mang Tirjem di alam kubur pasti menangis. Betapa partai politik yang diperjuangkannya dulu menjadi ajang pasar untuk mendagangkan suara.
Namun, Tirjem berkata lain. “Ah…, seandainya ayahmu masih hidup, dia pasti memperoleh bagian yang lebih besar daripada saya.”
Saya hanya tersungging. Sesekali menelan ludah. Dana kebanyakan menyindir sinis teman ayah saya itu.
“Heran saya, Mang, partai politik kok lebih kaya dari negara? Bahkan menyaingi sebuah kedigdayaan bangsa. Saya mendukung partai politik ini (…..?) berada di wilayah oposisi.” Jawab saya singkat sambil meremas baju.
“Nggak penting itu. Yang jelas, sekarang harga tanah di kampungmu berapa per meter ya?? Ini ada sedekah dari ketua terpilih, lumayan lah, bisa membeli kampungmu.”
“Sialan!!! Emang politikus negeri ini sudah seperti si Tirjem semua?” bisikku sambil mematikan akun facebook.
“Heran saya, Mang, partai politik kok lebih kaya dari negara? Bahkan menyaingi sebuah kedigdayaan bangsa. Saya mendukung partai politik ini (…..?) berada di wilayah oposisi.” Jawab saya singkat sambil meremas baju.
“Nggak penting itu. Yang jelas, sekarang harga tanah di kampungmu berapa per meter ya?? Ini ada sedekah dari ketua terpilih, lumayan lah, bisa membeli kampungmu.”
“Sialan!!! Emang politikus negeri ini sudah seperti si Tirjem semua?” bisikku sambil mematikan akun facebook.
NB: Tokoh Mang Tirjem adalah fiktif, ya. Bila ada kesamaan nama tokoh mohon dimaafkan!