Secara historik tanggal 1 Juni, sebagai tanggal lahirnya Pancasila, adalah tonggak awal melahirkan kesadaran berindonesia dalam diri setiap warga Indonesia. Kelahiran pancasila sebagai dasar NKRI memang tak terlepas dari sikap pro dan kontra. Yang pro pancasila sebagai landasan Negara yang final (kaum nasionalis) dan yang menghendaki ajaran agama (khususnya Islam) sebagai dasar NKRI.
Namun, pada hari ini alangkah bijaknya jika seluruh elemen bangsa mulai menumpurkan permusuhan ideologis yang sedari dulu kerap menuai bencana kemanusiaan yang merugikan integrasi bangsa.
Sekarang, saatnya kita memerangi musuh utama kemanusiaan, yakni kemiskinan, agar nilai-nilai pancasila bisa ngeindonesia. Artinya, secara praksis butir-butir pancasila bisa terasa manfaatnya oleh rakyat.
Sekarang, saatnya kita memerangi musuh utama kemanusiaan, yakni kemiskinan, agar nilai-nilai pancasila bisa ngeindonesia. Artinya, secara praksis butir-butir pancasila bisa terasa manfaatnya oleh rakyat.
Sebab, untuk konteks kekinian, bangsa kita tengah berharap akan terjadi perubahan-perubahan di seluruh aras kenegaraan dan kemasyarakatan. Negara bebas dari berkeliarannya manusia Indonesia tak bertanggung jawab (penimbun, pemimpin korup, dan organisasi yang mengeksploitasi penderitaan rakyat).
Di aras kemasyarakatan, bangsa kita tengah berharap agar secara sosial-ekonomi kita menjadi warga yang berdaya. Jadi, ada semacam pengharapan yang ingin terwujud ketika pendiri negeri (founding fathers) ini merumuskan pancasila sebagai dasar Negara.
Akan tetapi, harapan untuk menggeliatkan bangsa dari ketidaknyamanan terletak pada mampu atau tidak melahirkan kembali semangat baru berpancasila. Semangat yang dapat memberdayakan biofilia (daya hidup) seluruh warga Negara sehingga tercipta kesejahteraan hidup dan bertebarannya keadilan sosial di tubuh bangsa untuk selanjutnya bersama-sama memajukan negeri ini.
Dalam konteks berindonesia, lahirnya landasan Negara (pancasila) yang diperingati pada setiap 1 Juni adalah medium penghantar lahirnya semangat baru untuk selalu berintegrasi. Dengan lima butir yang terpampang di dada seekor burung Garuda, kita seharusnya terus mepersatukan rasa keindonesiaan dalam diri.
Dalam konteks berindonesia, lahirnya landasan Negara (pancasila) yang diperingati pada setiap 1 Juni adalah medium penghantar lahirnya semangat baru untuk selalu berintegrasi. Dengan lima butir yang terpampang di dada seekor burung Garuda, kita seharusnya terus mepersatukan rasa keindonesiaan dalam diri.
Tidak arif saya pikir jika masih terjebak pada logika relasi “lawan-kawan”. Sebab, kekikukkan laku dan budi semacam itu akan mengakibatkan tali-temali yang mengikat kerukunan bangsa cerai-berai. Celakanya lagi, kekerasan akan menjadi hal yang lumrah, tidak asing dan seakan tidak mengancam keutuhan berbangsa-bernegara.
Pancasila adalah lima butir landasan Negara Indonesia yang mampu menopang kerukunan dan menciptakan relasi harmonis ketika dipegang teguh dan diamalkan dalam hidup keseharian. Maka, di hari ini, semestinya kita mengembara ke alam bawah sadar, untuk memperkokoh keindonesiaan kita sehingga bisa membenahi laku dan sikap kita dengan membumikan prinsip hidup “bernegara yang baik” agar kita lebih manusiawi.
Momentum kelahiran Pancasila kali ini tak semestinya dijadikan ajang penonjolan arogansi keberagamaan. Namun, perantara untuk mengepakkan sayap bangsa agar menebarkan sikap damai, toleran, dan humanis. Ketika kerukunan di negeri ini kita hancurkan, maka posisinya bagaikan seorang manusia yang sedang merusak sesuatu yang telah diciptakannya sendiri.
Pancasila adalah lima butir landasan Negara Indonesia yang mampu menopang kerukunan dan menciptakan relasi harmonis ketika dipegang teguh dan diamalkan dalam hidup keseharian. Maka, di hari ini, semestinya kita mengembara ke alam bawah sadar, untuk memperkokoh keindonesiaan kita sehingga bisa membenahi laku dan sikap kita dengan membumikan prinsip hidup “bernegara yang baik” agar kita lebih manusiawi.
Momentum kelahiran Pancasila kali ini tak semestinya dijadikan ajang penonjolan arogansi keberagamaan. Namun, perantara untuk mengepakkan sayap bangsa agar menebarkan sikap damai, toleran, dan humanis. Ketika kerukunan di negeri ini kita hancurkan, maka posisinya bagaikan seorang manusia yang sedang merusak sesuatu yang telah diciptakannya sendiri.
Hasrat nekrofilia – meminjam istilah Erich Fromm – yang sedemikian parah dalam keberagamaan kita tentunya akan menebarkan penyakit jiwa (psikotis), seperti meremeh-temehkan kepercayaan orang lain, menjustifikasi bahwa selain golongannya adalah sesat, dan segala upaya pendiskriminasian terhadap kaum minoritas.
Seperti halnya kupu-kupu. Dari seekor ulat – kebanyakan – menjijikkan, menjadi seekor kupu-kupu yang indah dan kerap mengabarkan bahwa musim telah berganti dengan suasana yang asyik-ma’syuk. Maka, menghilangkan racun perilaku patologis yang menempeli diri, menggantinya dengan kemanisan laku dan budi pekerti posisinya sama dengan melahirkan kembali semangat pancasila.
Dalam bahasa lain, kebernegaraan kita mesti bermetamorfosa dari ketidakbecusan membumikan nilai-nilai keilahiyan dan kemanusiaan yang terdapat dalam kelima butir Pancasila sehingga menjadi kepiawaian memijakkannya di bumi pertiwi. Bahkan lebih bagus lagi jika setiap hari adalah kelahiran kembali sisi kemanusiaan kita.
Seperti halnya kupu-kupu. Dari seekor ulat – kebanyakan – menjijikkan, menjadi seekor kupu-kupu yang indah dan kerap mengabarkan bahwa musim telah berganti dengan suasana yang asyik-ma’syuk. Maka, menghilangkan racun perilaku patologis yang menempeli diri, menggantinya dengan kemanisan laku dan budi pekerti posisinya sama dengan melahirkan kembali semangat pancasila.
Dalam bahasa lain, kebernegaraan kita mesti bermetamorfosa dari ketidakbecusan membumikan nilai-nilai keilahiyan dan kemanusiaan yang terdapat dalam kelima butir Pancasila sehingga menjadi kepiawaian memijakkannya di bumi pertiwi. Bahkan lebih bagus lagi jika setiap hari adalah kelahiran kembali sisi kemanusiaan kita.
Ketika kita telah sedemikian asyik melumuri diri dengan arogansi, ekslusivitas, dan intoleransi hingga berujung pada mengatmosfernya ketakharmonisan di negeri ini, itu adalah pengkhianatan terhadap rumusan Negara-bangsa.
Oleh karenanya, kelegowoan hati semestinya tidak dipreteli dari jiwa, tidak direpresi ke dasar alam bawah sadar, dan tidak dikhianati hingga kosong melompong dari aktivitas keseharian. Apabila hal ini kita abaikan, dapat dipastikan menyeruaknya arogansi dalam keberagamaan, misalnya, akan meramaikan jagad keindonesiaan.
Saya kira, pembidanan kelahiran Pancasila laiknya sebuah terminal yang berfungsi bagi tempat persinggahan sementara bus, mobil, dan kendaraan lainnya yang akan meempuh perjalanan. Pemberhentian sementara ini, hanyalah sebagai upaya pen-charger-an dan pengerukan penumpang yang hendak pergi ke suatu tempat atau kota.
Oleh karenanya, kelegowoan hati semestinya tidak dipreteli dari jiwa, tidak direpresi ke dasar alam bawah sadar, dan tidak dikhianati hingga kosong melompong dari aktivitas keseharian. Apabila hal ini kita abaikan, dapat dipastikan menyeruaknya arogansi dalam keberagamaan, misalnya, akan meramaikan jagad keindonesiaan.
Saya kira, pembidanan kelahiran Pancasila laiknya sebuah terminal yang berfungsi bagi tempat persinggahan sementara bus, mobil, dan kendaraan lainnya yang akan meempuh perjalanan. Pemberhentian sementara ini, hanyalah sebagai upaya pen-charger-an dan pengerukan penumpang yang hendak pergi ke suatu tempat atau kota.
Begitu pun ketika bangsa Indonesia bertemu dengan peringatan kelahiran Pancasila, hendaknya dijadikan sebagai starting point pencarian bekal persiapan supaya mampu menghadapi segala persoalan yang bakal melilit bangsa ke depan.
Sebab, tatkala proklamasi kemerdekaan telah mengumandang 63 tahun silam, tidak serta merta tahun berikutnya bangsa ini bebas dari penjajahan. Rakyat dan pemerintahan yang baru berdiri saat itu, berjuang hingga titik darah penghabisan untuk mengeluarkan bangsa dari serangan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme sebagai penjajah berwajah baru.
Sebab, tatkala proklamasi kemerdekaan telah mengumandang 63 tahun silam, tidak serta merta tahun berikutnya bangsa ini bebas dari penjajahan. Rakyat dan pemerintahan yang baru berdiri saat itu, berjuang hingga titik darah penghabisan untuk mengeluarkan bangsa dari serangan neo-kolonialisme dan neo-imperialisme sebagai penjajah berwajah baru.
Bagaimana dengan hari ini? Penjajahan pun seakan memperbarui dirinya hingga kita tidak menyadari bahwa pada dasarnya bangsa ini tengah memeluk kemerdekaan semu.
Oleh karena itu, terus memacu diri untuk mengeluarkan bangsa dari aneka penjajahan laten adalah keniscayaan. Perlawanan yang dilakukan juga mestinya menampakkan kearifan (hikmat) dan kebijaksanaan, sebagai pertanda bahwa kita bangsa yang beradab, yaitu dengan cara memenuhi kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, terus memacu diri untuk mengeluarkan bangsa dari aneka penjajahan laten adalah keniscayaan. Perlawanan yang dilakukan juga mestinya menampakkan kearifan (hikmat) dan kebijaksanaan, sebagai pertanda bahwa kita bangsa yang beradab, yaitu dengan cara memenuhi kesejahteraan rakyat.
Sebab, musuh bersama yang harus diusir dari Negara Indonesia saat ini adalah persoalan ketidaksejateraan yang diakibatkan minimnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Itulah tujuan inti dari lahirnya Pancasila. Untuk menciptakan ketentraman, kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia .