Oleh Sukron Abdilah (bincangkata.com)
NUBANDUNG - Menak dan somah pada masa meranggasnya pemerintahan feodalistik di tatar Sunda merupakan fakta sosial yang menempatkan urang Sunda ke dalam stratafikasi sosial. Menak dan somah adalah jaringan hubungan sosial yang saling berinteraksi, terorganisir, dan berproses sehingga dapat dibedakan posisi sosial individu ataupun subkelompok dalam sebuah medan sosial. Menak adalah kaum bangsawan yang acap kali diperlakukan istimewa, sedangkan somah sebagai rakyat biasa yang banyak dieksploitasi demi kepentingan pribadi kaum menak.
Secara historik, kebiasaan untuk selalu diperlakukan seistimewa yang melembaga dalam bentuk norma-nilai yang mesti ditaati berasal dari pengaruh kerajaan yang dibawa dari luar Sunda. Bukan dari abad ke 1-2 Masehi, di mana sebagai sebuah komunitas, urang Sunda sudah hidup dalam sebuah sistem relasi sosial yang memiliki norma-nilai egalitarian dan kebebasan otonom untuk mengaktualisasikan diri.
Era sejarah tatar Sunda dimulai pertengahan abad ke-5 dengan adanya dokumen tertulis berupa prasasti dengan menggunakan bahasa Sangsekerta dan Aksara Pallawa. Prasasti-prasasti itu ditemukan di Ciaruteun ( Bogor ), Bekasi dan Pandeglang dari zaman kerajaan Tarumanegara dengan rajanya bernama Purnawarman, beribukota di Bekasi. Sampai abad ke-7, sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, agama Hindu sebagai agama resmi negara, sistem kasta berbentuk stratifikasi sosial dan hubungan antar negara telah mulai terwujud (www.bandung.go.id).
Laku feodalistik menak
Hal itu memberikan harta warisan feodalistik yang bisa dilihat dalam kebiasaan menak di masa penjajahan, dengan memiliki selir sampai puluhan orang. Bahkan pada abad ke 20 di Bandung pernah terjadi pemaksaan terhadap Aom Ogog, putera Bupati Bandung untuk menceraikan istrinya bernama Oma, karena sang istri bukan berasal dari abdi dalem. Selain itu, dalam bidang pendidikan juga menak di tatar Sunda kerap diuntungkan feodalisme gaya baru yang dipelihara atau dilanggengkan kaum Belanda untuk menancapkan kekuasaannya. Mereka mendapatkan pendidikan yang setara dengan anak-anak yang berasal dari para pejabat pemerintahan (Nina H Lubis, 2000).
Dari situlah dapat dilakukan analisa – sebagai gambaran kemirisan kita – terhadap laku kaum menak yang cenderung membentuk komunitas sendiri dan selalu mengambil manfaat dari setiap hubungan. Perilaku feodalistik ini merupakan pelanggengan kebudayaan raja yang hirarkis dan banyak memperlakukan rakyat secara tak manusiawi oleh penjajah belanda dalam melakukan politik etis pecah belahnya di tatar Sunda.
Akal bulus kaum penjajah terlihat jelas dari cara memperlakukan kalangan menak Sunda dengan mengangkat sebagian anggota atau keluarganya untuk menduduki posisi tinggi dalam administrasi dan birokrasi kolonial. Tujuannya guna menjaga suasana lebih kondusif. Menak dan cacah atau somah seakan hidup dalam dunia yang berbeda, karena hubungan yang terjadi lebih bersifat formal, bahkan seringkali intimidatif, bukan hubungan intim yang berasal dari rasa simpati dan empati (Mikihiro Moriyama, 2005).
Sejak abad ke-17, sejarah Sunda mengalami babak baru, karena dari arah pesisir utara Jayakarta (Batavia) kekuasaan Kompeni Belanda mulai merangsek masuk (sejak 1610) dan dari arah pedalaman sebelah timur kekuasaan Mataram (sejak 1625) juga berusaha menakulukkannya. Secara perlahan akhirnya seluruh Tanah Sunda jatuh ke genggaman kekuasaan Belanda, karena itu mulailah era baru di tatar Sunda dengan kepemimpinan berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Namun, keuturunan raja-raja Sunda dan orang yang dahulunya berada dalam lingkaran keluarga kerajaan mendapatkan hak istimewa. Tidak begitu halnya dengan rakyat jelata. Mereka tertindas – meminjam bahasa Pramoedya Ananta Toer – di negerinya sendiri serta menjadi budak bagi bangsa sendiri dan bangsa luar.
Perlawanan “Menak” dan “Somah”
Tanah Sunda yang subur dan orang-orang yang rajin bekerja tapi lugu menjadikan daerah ini rawan dengan eksploitasi sehingga menguntungkan penguasa kolonial Belanda, dan membawa kemakmuran yang luar biasa bagi mereka yang tinggal di sini (di Sunda) serta yang berada di tanah leluhurnya. Sebaliknya, rakyat Sunda tidak mengecap keuntungan yang setimpal dengan tenaga dan jasa yang diberikan, bahkan banyak yang hidupnya menderita, kecuali sekelompok masyarakat kecil yang dekat dan kerjasama dengan penguasa kolonial yang biasa disebut kaum menak.
Namun, tidak semua kalangan bangsawan (menak) Sunda menyetujui penjajahan yang dilkukan bangsa luar sehingga mengundang ketakpuasan dan bahkan penentangan sebagian masyarakat di bawah pimpinan bangsawan. Perlawanan dan pemberontakan rakyat itu dipimpin oleh kalangan atas (menak) di tatar Sunda, di antaranya: Dipati Ukur di Priangan (1628-1632), Sultan Ageng Tirtayasa dan pangeran Purbaya di Banten (1659-1683), Prawatasari di Priangan (1705-1708), Kyai Tapa dan Bagus Buang di Banten (1750-1752), Bagus Rangin (1802-1818), Kyai Hasan Maulani di Kuningan (1842), Kyai Washid di Banten (1888), dan Kyai Hasan Arif di Garut (1918).
Para pendobrak sistem feodalistik di atas mencoba untuk menafsirkan Sunda sebagai budaya yang memiliki kesamaan derajat sehingga harus melakukan perlawanan ketika ada usaha eksploitisir dari pihak kolonial, meskipun kalau hendak menjilati para penjajah, mereka akan mendapatkan tempat yang istimewa seperti halnya menak. Namun, hal itu tidak mereka lakukan karena dirinya seolah merasakan penderitaan rakyatnya (baca: berempati dan bersimpati) yang sedang ditindas oleh para penjajah.
Menak dalam pranata sosial Sunda masa kerajaan adalah sebuah gambaran dari pengaruh gaya hidup raja-raja tempo dulu yang masih dipelihara hingga kini dan mewujud dalam pelbagai bentuk faktual. Salah satunya neo-menak, yang saat ini masih tetap terpelihara dan bermetamorfosis menjadi para pejabat yang tak aral kepalang memperlakukan rakyat sebagai sapi perahan, terutama ketika pemilihan kepala daerah tengah berlangsung. Mereka menuntut gaji dan tunjangan besar ketika kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya bangsa “sengkarut acak-acakan”.
Maka, mendekonstruksi horizon kalangan menak dengan menerapkan pendidikan emansipatoris pada masyarakat kelas atas dan kelas bawah adalah kemutlakan yang tak pernah nisbi. Sebab, dalam perspektif agama dan filsafat, kita – sebagai manusia berbudaya yang memiliki keotonomian diri – diajarkan untuk tidak memberhalakan sesuatu atau dideterminasi oleh kekuatan struktural yang menindas. Etnik Sunda akan terus eksis ketika ia ditafsirkan sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang menindas, diskriminatif, dan kebudayaan mono(po)litik yang mengebiri keberagaman, seperti eksistensi menak yang menempatkan manusia Sunda pada “tangga-tangga” relasi sosial yang kaku.