Karakter Islam berhubungan sepenuhnya dengan kenyataan bahwa Islam adalah agama awal sekaligus agama terakhir di dalam kehidupan manusia. Islam menganggap dirinya sebagai din al hanif, sebab ia didasarkan pada doktrin tentang Unitas yang terdapat dalam segala hal, sehingga di dalam Islam dikatakan bahwa doktrin tentang Unitas adalah tunggal (tauhid, wahid).
Hanya ada satu doktrin tentang Unitas di dalam setiap agama. Islam hanya menekankan kembali hal itu, dan dengan demikian, kembali kepada agama yang awal, yang merupakan kebijaksanaan abadi, religio perennis. Ini dilakukan dengan mengulang ajaran tentang Unitas dan usaha mengembalikan manusia kepada fitrahnya yang agung, yang terlupakan olehnya karena ia terbuai oleh impiannya.
Menurut perspektif Islam, Tuhan tidak menurunkan kebenaran-kebenaran yang berbeda melalui para nabi, melainkan berbagai bentuk dan ekspresi dari kebenaran yang sama. Jadi, Islam adalah penekanan kembali dari kebenaran abadi yang terkandung dalam ajaran Ibrahim, dalam tradisi spiritual Semitnya, dan menggunakan akal, kehendak, serta kemampuan berbicara sebagai dasar bagi manusia untuk menyadari Unitas.
Dalam Islam, terdapat tiga pribadi yang memiliki kesamaan, yaitu Adam, Ibrahim, dan Muhammad. Adam adalah manusia dan nabi pertama di muka bumi. Agama Unitas atau monotheisme telah ada semenjak Adam. Dengan kata lain, asal mula agama adalah monotheisme yang kemudian berubah menjadi polytheisme akibat dari dekadensi manusia sendiri. Jadi bukan dari polytheisme ke monotheisme, melainkan dari monotheisme ke polytheisme.
Karena itu, manusia harus selalu diberi peringatan melalui nabi-nabi berikutnya yang merupakan bagian dari siklus kenabian untuk mengembalikan manusia pada ajaran Unitas monotheisme. Sejarah manusia sesungguhnya merupakan sebuah “siklus perusakan-penyegaran”. Ketika ajaran Unitas itu rusak, maka Tuhan menurunkan para nabi untuk melakukan penyegaran, sampai berakhir pada Sang Nabi terakhir penutup siklus kenabian.
Ibrahim dikenal sebagai Bapak Monotheisme, karena darinya lahir tiga agama monotheis besar, yaitu, Yahudi, Kristen, dan Islam. Ajaran Ibrahim dikenal dengan ajaran hanif. Agama Yahudi (Yudaisme) yang diturunkan pada Musa (keturunan Ibrahim dari Ishaq. Pen.) hanyalah merupakan aspek hukum dari ajaran tersebut. Dengan kata lain, agama Yahudi itu lebih menekankan pentingnya hukum Tuhan—dalam hal ini adalah hukum Talmud—sebagai dasar ajaran yang mengatur kehidupan sehari-hari. Atau bisa juga dikatakan, bahwa agama Yahudi lebih menekankan aspek eksoteris ajaran Ibrahim.
Adapun agama Kristen, yang diturunkan pada Isa Al-Masih, merupakan kebalikan dari Yahudi, yakni lebih menekankan aspek spiritual atau esoterik dari ajaran Ibrahim. Isa turun tidak membawa hukum atau syari’at baru, melainkan membawa suatu cara atau thariqah, yang didasarkan atas cinta kepada Tuhan. Islam menerima fungsi Isa yang berbeda dengan nabi-nabi lain, yang biasanya membawa syari’at baru, dengan menerimanya sebagai ruh Allah dan menerima kelahirannya yang supernatutal dihubungkan dengan keperawanan Maryam.
Firman-Nya, “Sesungguhnya Isa Al-Masih putera Maryam adalah Rasul dan perkataan Kami, disampaikan kepada Maryam beserta Ruh yang datang dari Allah” (QS. 15: 171).
Islam sama sekali menolak kedudukan Isa (Yesus Kristus) sebagai inkarmasi Tuhan, juga sama sekali tidak menerima hubungan bapak-anak antara Tuhan dengan Yesus, serta tidak mengakui doktrin trinitas (tritunggal) sebagaimana umumnya ajaran Kristen sepeningggal Isa hingga sekarang. Islam hanya mengakui Isa Al-Masih sebagai nabi dan rasul saja, tidak lebih dari itu.
Islam, yang diturunkan kepada Muhammad, merupakan perwujudan ketiga dari tradisi Ibrahim tersebut. Islam mengintegrasikan aspek eksoteris (lahir) sebagaimana ditekankan Yahudi dan aspek esoteris (batin) sebagaimana ditekankan Kristen. Islam mengandung syari’at sekaligus thariqat. Jika Yahudi didasarkan atas rasa takut pada pada Tuhan, dan Kristen atas rasa cinta pada Tuhan, maka Islam didasarkan pada pengetahuan. Pada dasarnya setiap agama yang lengkap mengandung ketiga aspek itu, yang berbeda adalah penekanannya saja.
Sekali lagi, Islam adalah agama awal sekaligus agama terakhir. Walaupun secara bentuk lahiriah merupakan agama baru yang khusus dan paling akhir diturunkan Tuhan, namun isi dan kandungan ajarannya adalah paling awal diturunkan dan sangat universal. Tak ada yang melebihi Islam dari segi keutamaan dan universalitasnya. Islam bukanlah bentuk agama yang tertutup, melainkan terbuka ke dalam, yang menuju ke arah yang tak terhingga. Seseorang yang berada dalam lingkupan Islam yang khusus harus bertolak dari yang khusus itu, dengan menerima dan menghayati ritus-ritusnya dan kekhususan-kekhususannya, agar bisa sampai pada universalitasnya.
Universalitas Islam terletak pada sifatnya sebagai agama awal, dan kekhususannya terletak pada sifatnya sebagai agama terakhir. Deretan kenabian berakhir pada Muhammad, sebagai Khatam al-Anbiya, menyatakan bahwa beliaulah nabi yang terakhir, dan sejarah telah membuktikannya. Konsep kenabian seperti ini tidaklah berarti bahwa sejarah manusia akan berjalan terus tanpa petunjuk Tuhan.
Islam mempercayai bahwa sejarah manusia itu mempunyai awal dan akhir, sebagaimana telah banyak diterangkan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Islam juga mempercayai akan kebangkitan Isa Al-Masih di akhir sejarah manusia, sebagaimana dalam ajaran Kristen. Namun ini sama sekali tidak mengubah status Islam dan Muhammad, Islam tetaplah agama yang terakhir dan Muhammad tetaplah Nabi yang terakhir.
Islam adalah petunjuk yang ditanamkan sebagai benih di dalam hati manusia. Manusia adalah wadah bagi benih itu. Manusia tidak dapat memecahkan wadah itu, ia hanya dapat membersihkannya agar wadah itu pantas menerima benih yang diberikan Tuhan kepadanya. Benih Islam ditempatkan di dalam hati manusia melalui Al-Qur’an dan petunjuk Rasul-Nya. Dari benih ini, tumbuh sebatang pohon spiritual yang telah menciptakan satu diantara peradaban-peradaban terbesar dalam sejarah. Pohon ini memberi keteduhan bagi sebagian besar umat manusia yang hidup dan mati hari ini, dan yang telah menemukan arti kehidupan.