Manusia bisa mencari kesejahteraan untuk hidupnya dengan modal yang diberikan Allah berupa ilmu pengetahuan. Maka itulah, ilmu menjadi pelengkap iman. Keduanya, iman dan ilmu, kelak di yaumil akhir, dapat mengangkat derajat manusia ke puncak tertinggi martabat. Itulah keren-nya manusia dibandingkan makhluk Allah lainnya.
Meskipun manusia adalah makhluk “terbaru” yang diciptakan Allah, tapi manusia telah mendapatkan mandat untuk senantiasa menjaga dunia yang sangat besar ini. Kita—sebagai bagian dari manusia itu—tentu harus berbangga karena mendapat predikat khalifah! Allah tidak memilih makhluk lain yang lebih “tua” dari manusia sebagai khalifah.
Dalam sebuah tafsir disebutkan bahwa para malaikat sudah beribadah kepada Allah dalam waktu yang sangat lama, jauh sebelum manusia diciptakan. Bahkan, fakta mencengangkan lainnya, iblis telah beribadah kepada Allah selama 80.000 tahun! Namun, Iblis harus berpuas diri karena dikutuk karena sifat sombongnya yang tidak pernah hilang sampai saat ini. Padahal, kesombongan hanyalah layak untuk Allah yang telah menciptakan segala hal di semesta ini.
Iblis Tak Terima
Jadi, wajar saja, jika iblis merasa amat marah saat manusia terpilih menjadi khalifah penjaga bumi. Padahal, ia menilai bahwa dirinya makhluk paling mulia karena asal-usul penciptaannya dan ibadah yang telah lama dikerjakannya.
Sejak saat itu, iblis mengikrarkan diri sebagai musuh manusia hingga akhir zaman. Ikrar iblis untuk menjadi musuh manusia hingga akhir zaman merupakan akar konflik dalam diri setiap makhluk. Maka, saat ini, sebagai manusia, kita, harus menjaga amanat yang diberikan Allah kepada Adam as.
Kitalah yang bertanggung jawab atas kelangsungan kehidupan di muka bumi. Kita pula yang harus menjaga keharmonisan alam. Dengan demikian, kita dapat hidup sejahtera dan menyebarkan kesejahteraan itu pada makhluk lainnya. Saatnya kita menunjukkan bahwa kita mampu menjadi khalifah.
Kita buktikan bahwa kita tidak akan menciptakan kekacauan, kerusakan, dan pertumpahan darah seperti yang telah “diprediksi” atau ditudingkan sebelumnya. Dahulu, Allah telah mengutus para nabi untuk memperbaiki akhlak manusia pada zaman nabi tersebut hidup. Mereka diperintahkan untuk membawa umatnya untuk berjalan di jalan yang lurus sesuai petunjuk-Nya. Lantas, bagaimana dengan kita saat ini?
Setelah Rasulullah Saw. hadir untuk menyempurnakan ajaran Islam, tentu tidak ada satu pun lagi manusia yang diutus menjadi nabi. Namun demikian, kita tetap punya tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan para utusan Allah dalam menjaga kehidupan di dunia. Termasuk menjalankan semua perintah Allah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw.
Itulah fitrah manusia. Melanjutkan estafet perjuangan para utusan terdahulu dalam mewujudkan kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah; menjalani kehidupan sebagai khalifah di bumi.
Khalifah di Muka Bumi
Siap menjadi khalifah? Tentu harus siap! Menjadi khalifah adalah tugas personal kita sebagai ciptaan Allah. Setiap individu dituntut untuk memainkan perannya. Paling tidak, sebagai khalifah yang bertanggung jawab secara pribadi kepada Allah Sang Pencipta. Inilah kesiapan kita sebagai khalifah di muka bumi.
Jika kita telah siap melakukan semua upaya tersebut, itu artinya kita telah berjiwa khalifah fil ardhi, khalifah di muka bumi. Khalifah yang sesungguhnya akan senantiasa menebar perdamaian, memelihara alam agar tetap lestari, dan menjaga dunia dari perbuatan kacau dan amoral.
Sebagai manusia – kita – telah dipilih Allah untuk menjadi khalifah, mewakili-Nya untuk menjaga bumi ini. Karena itu, saatnya, kita mulai bergerak menuju kehidupan yang lebih baik. Ya, berhijrah dari masa lalu dan membuka lembaran masa-masa yang baru serta meningkatkan diri lebih baik dari waktu ke waktu.
Sebagai wakil-Nya, tugas kita adalah menebar sifat-sifat Tuhan. Saling memberi, menolong, dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan. Menjadi pribadi yang baik, bersiap menjadi anutan. Mari mulai bergerak, menjadikan hijrah sebagai aksi nyata untuk tidak merusak bumi yang kita huni.
Katakan tidak pada setiap laku perusakan hanya demi memenuhi hawa nafsu. Tak perlu menunggu, apalagi mempersilakan orang lain untuk mengambil alih kewajiban itu karena setiap dari kita memiliki tanggung jawab untuk membangun peradaban lahir dan batin.