Dunia tulis menulis bagi saya seumpama permainan sepakbola. Tak hanya untuk kemenangan semata; tapi ada keindahan kolektif yang bikin puas para penonton yang harus dipertunjukkan. Karena itulah, saya memahami aktivitas menulis sebagai kewajiban moral.
Namun, ada ganjalan yang seringkali menghambat saya menuangkan sebuah ide menjadi sebentuk tulisan yang menarik. Bila sudah begini, saya pun kelabakan dibikin pusing, karena ide terasa mengawang-ngawang tak tentu arah dibenak kepala.
Bahkan lebih parah lagi, ketika saya membaca realitas atau gejala sosial di sekitar muncul beragam pandangan dan sangat sulit diejawantahkan dalam sebuah coretan. Ini dulu ketika saya mulai meniti karier di dunia kepenulisan.
Suatu ketika, saya menemukan kata-kata yang telah usang menurut orang lain, tetapi dalam kehidupanku kata-kata itu seolah menjadi titik awal untuk menikmati aktivitas menulis. Kata-kata itu berbunyi, "tangkaplah ide, sebelum ide tersebut hilang dari benakmu". Dengan kesusahan dan kepayahan, saya renungi makna yang tersembunyi di balik petatah petitih tersebut agar melahirkan pemahaman baru.
Setelah saya pahami, bahwa kesulitan menuangkan ide itu, bermula dari kemalasan. Jadilah, saya bersimpulan bahwa untuk menjadi ahli di dunia tulis menulis, kita hanya perlu melahirkan apa yang terkandung dalam petatah petitih Sayyidina Ali tersebut, yakni: "semangatlah kawan". Karena tanpa memiliki semangat hidup, boro-boro menangkap ide, untuk menghasilkan ide pun akan terasa kesulitan banget. Makanya tak salah bila musuhku yang pertama dan terakhir adalah ketidaksemangatan dalam diri.
Bahkan pada kesempatan lain, saya teringat sebuah ungkapan yang maha dahsyat memotivasi hidup: “Hal-hal yang menakjubkan, tidak lain adalah hal-hal sederhana yang disentuh oleh tangan jenius”. Begitulah ujar Boris Pasternak dalam novelnya Dr. Zhivago.
Kejeniusan tangan harus mulai diasah kemampuannya guna mendapatkan ketentraman jiwa dan tergapainya peradaban bangsa yang cemerlang. Dalam bahasa lain, kalaulah tak segera dituangkan dalam sebuah tulisan, jiwa ini seakan terus-menerus mengidap penyakit "insomnia" di malam hari.
Bahkan lebih parah lagi, ketika saya membaca realitas atau gejala sosial di sekitar muncul beragam pandangan dan sangat sulit diejawantahkan dalam sebuah coretan. Ini dulu ketika saya mulai meniti karier di dunia kepenulisan.
Suatu ketika, saya menemukan kata-kata yang telah usang menurut orang lain, tetapi dalam kehidupanku kata-kata itu seolah menjadi titik awal untuk menikmati aktivitas menulis. Kata-kata itu berbunyi, "tangkaplah ide, sebelum ide tersebut hilang dari benakmu". Dengan kesusahan dan kepayahan, saya renungi makna yang tersembunyi di balik petatah petitih tersebut agar melahirkan pemahaman baru.
Setelah saya pahami, bahwa kesulitan menuangkan ide itu, bermula dari kemalasan. Jadilah, saya bersimpulan bahwa untuk menjadi ahli di dunia tulis menulis, kita hanya perlu melahirkan apa yang terkandung dalam petatah petitih Sayyidina Ali tersebut, yakni: "semangatlah kawan". Karena tanpa memiliki semangat hidup, boro-boro menangkap ide, untuk menghasilkan ide pun akan terasa kesulitan banget. Makanya tak salah bila musuhku yang pertama dan terakhir adalah ketidaksemangatan dalam diri.
Bahkan pada kesempatan lain, saya teringat sebuah ungkapan yang maha dahsyat memotivasi hidup: “Hal-hal yang menakjubkan, tidak lain adalah hal-hal sederhana yang disentuh oleh tangan jenius”. Begitulah ujar Boris Pasternak dalam novelnya Dr. Zhivago.
Kejeniusan tangan harus mulai diasah kemampuannya guna mendapatkan ketentraman jiwa dan tergapainya peradaban bangsa yang cemerlang. Dalam bahasa lain, kalaulah tak segera dituangkan dalam sebuah tulisan, jiwa ini seakan terus-menerus mengidap penyakit "insomnia" di malam hari.
Bahkan ketika masalah tak pernah dituangkan dalam sebuah teks, malam serasa siang dan siang pun serasa malam sehingga hidup selalu dilingkari kegundahan. Mungkin inilah yang disebut oleh Umberto Eco - menulis adalah sebuah kewajiban moral.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kewajiban moral adalah kewajiban atas dasar norma benar dan salah sebagaimana diterima dan diakui oleh masyarakat. Kewajiban moral berasal dari kata dasar kewajiban.
Bacalah realitas! Beropini di Media Massa
Karut marut kondisi bangsa seakan tak lepas dari sebuah permasalahan yang hadir sebagai akibat dari kebijakan kaum pemegang otoritas yang “salah sasaran”. Mulai dari kebijakan di dunia pendidikan, sosial, ekonomi, politik, bahkan sampai budaya pun tak jarang menuai imbasnya. Tak sampai disitu, peran diriku dan kawan-kawan sebagai “pengkritik” seakan meredup, bahkan nyaris padam laiknya cahaya lilin yang terhembusi angin malam.
Media massa sebagai wahana yang pas bagi kita untuk “berunjuk gigi” pun seolah terlupakan sebagai akibat dari minimnya budaya baca-tulis. Tak heran bila public opinion (pandangan umum) yang seharusnya diketahui masyarakat sering tidak tersampaikan secara efektif. Bahkan, orientasi gerakan masa sekarang seolah hanya berwujud oralistik. Demontrasi, aksi, gerakan protes, pembakaran ban, dan membuat macet jalan raya di perkotaan seolah menjelma laiknya rutinitas gerakan oralistik.
Dari gejala di atas, bukan berarti gerakan kita harus turun ke jalan. Namun, untuk melebarkan sayap, alangkah arifnya bila mulai menengok media massa yang cakupan pembacanya lebih luas, sehingga mampu membangun citra (image building) dan memberikan pencerahan untuk demokrasi di negeri ini. Dengan demikian, model gerakan tak sebatas berkoar-koar di depan gedung pemerintahan an sich, tapi melakukan pandangan tertulis yang hadir di media massa.
Tujuan tersebut tak mungkin menjadi kenyataan, bila saja dalam diri tidak tertanam budaya baca-tulis. Sebab itu, kehadiran media massa layak diapresiasi dengan membacanya sehingga mampu menjadi term of reference bagi gerakan kedepan. Tanpa adanya kultur membaca inilah, maka kultur menulis pun akan lekang di telan zaman. Sehingga elan vital gerakan untuk membela rakyat kecil pun hanya utopia belaka. Silakan baca tentang Intelektual publik di weblog guru menulis saya, Ki Budhiana Kartawijaya, Budhiana.id.
Paulo Freire dalam bukunya Education of Oppresed (1985) berangapan bahwa untuk melakukan sebuah perubahan, maka rakyat harus digiring pada kesadaran. Proses penyadaran ini, menurutku bakal lebih efektif ketika menggunakan media massa sebagai perangkat untuk menggapai kesadaran bersama.
Ketika saya buka lembaran ayat suci Al-Quran, saya temukan Firman Tuhan yang diturunkan pertama kali di Gua Hira, berbunyi, iqra bismi rabbika al-ladzi khalaq, khalaqal insana min 'alaq, (bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakan manusia dari sesuatu yang bergantung atau segumpal darah).
Artinya, sudah sejak lama ajaran Islam menyuruh umatnya untuk selalu membaca, merenungi dan memikirkan kondisi sekitar sehingga memunculkan ide-ide yang bisa dijadikan solusi permasalahan (problem solving). Salah satunya adalah membaca tulisan.
Yang lebih unik lagi, ketika saya memahami kata "alaq" sebagai sesuatu yang bergantung, serta merta kusamakan dengan ide yang posisinya bergantung juga pada pikiran seorang manusia. Mungkin dari sinilah tujuan manusia berkebudayaan, tiada lain untuk menuangkan ide-ide yang bergantung sebagai salah satu jalan meredakan kecemasan.
Yang lebih unik lagi, ketika saya memahami kata "alaq" sebagai sesuatu yang bergantung, serta merta kusamakan dengan ide yang posisinya bergantung juga pada pikiran seorang manusia. Mungkin dari sinilah tujuan manusia berkebudayaan, tiada lain untuk menuangkan ide-ide yang bergantung sebagai salah satu jalan meredakan kecemasan.
Hampir sama ketika Nabi Muhammad Saw merasa cemas dan gelisah ketika menyaksikan perilaku bangsa Arab yang jahiliyah ("bodoh") dengan mengasingkan diri ke Gua Hira. Beliau memiliki ide yang bergantung dalam benaknya, tetapi masih tetap bergantung, sehingga Allah memerintahkannya untuk menuangkan ide tersebut, dengan kata-kata jimat, iqra (bacalah).
Namun, tanpa adanya semangat dalam diri, mungkin tulisan tidak akan pernah lahir, hingga pada akhirnya, aktivitas membaca pun hanya sesuatu yang “absurd”. Dari tesis inilah, mungkin bisa juga saya katakan bahwa ketika menangkap ide dan mengurungnya dalam sebuah tulisan, itu semua merupakan upaya dari proses meredakan kecemasan. Sama seperti ketika sahabatku merasa terganggu jiwanya ketika tidak menuangkan segala masalah hidupnya dalam sebuah tulisan di buku diary.
Bahkan saya pun sempat berpikir bahwa para filsuf dan agamawan menciptakan teks-teks tertulis guna menghilangkan kecemasan yang diakibatkan seringnya berdialektika dengan kehidupan. Unikmya, ketika saya mulai mengajukan judul skripsi di jurusan, maka aku temukan istilah “data primer dan sekunder” yang dipergunakan untuk menunjang hipotesis yang kita ajukan dalam skripsi tersebut.
Lagi-lagi, saya mulai berpikir bahwa yang namanya “biografi kehidupan” ternyata bisa dijadikan sebagai data utama. Misalnya ketika saya harus meneliti pemikiran seorang tokoh, maka saya harus mengetahui biograrfi kehidupannya. Seandainya tidak mengetahui dan menuliskannya, maka out line skripsi pun bakal ditolak mentah-mentah oleh dosen pembimbing.
Nah, sekarang mulai lagi pikiran saya menerawang pada metode penelitian sejarah, yang menjadikan teks-teks masa lalu dan jadul sebagai data primer penunjang penelitian. Meskipun saya bukan seorang sejarawan atau mahasiswa jurusan sejarah, tapi yakin bahwa teks yang tersusun pada hari ini di media massa bakal menjadi data primer bagi anak-anak kita ketika mereka meneliti suatu peristiwa penting.
Waduh..ngelantur juga ya.
Tapi biar saja, yang jelas saya masih yakin bahwa kultur tulis-menulis mesti dipelihara agar generasi selanjutnya tidak terjebak pada hipotesis-hipotesis yang dangkal dari nilai keilmiahan. Bahkan sampai mengabaikan realitas sosial-historis. Karena itu, hingga saat ini, saya masih berpegang teguh bahwa menulis adalah kewajiban moral.
Jangan Sepelekan Ketajaman Tulisan
Namun, tanpa adanya semangat dalam diri, mungkin tulisan tidak akan pernah lahir, hingga pada akhirnya, aktivitas membaca pun hanya sesuatu yang “absurd”. Dari tesis inilah, mungkin bisa juga saya katakan bahwa ketika menangkap ide dan mengurungnya dalam sebuah tulisan, itu semua merupakan upaya dari proses meredakan kecemasan. Sama seperti ketika sahabatku merasa terganggu jiwanya ketika tidak menuangkan segala masalah hidupnya dalam sebuah tulisan di buku diary.
Bahkan saya pun sempat berpikir bahwa para filsuf dan agamawan menciptakan teks-teks tertulis guna menghilangkan kecemasan yang diakibatkan seringnya berdialektika dengan kehidupan. Unikmya, ketika saya mulai mengajukan judul skripsi di jurusan, maka aku temukan istilah “data primer dan sekunder” yang dipergunakan untuk menunjang hipotesis yang kita ajukan dalam skripsi tersebut.
Lagi-lagi, saya mulai berpikir bahwa yang namanya “biografi kehidupan” ternyata bisa dijadikan sebagai data utama. Misalnya ketika saya harus meneliti pemikiran seorang tokoh, maka saya harus mengetahui biograrfi kehidupannya. Seandainya tidak mengetahui dan menuliskannya, maka out line skripsi pun bakal ditolak mentah-mentah oleh dosen pembimbing.
Nah, sekarang mulai lagi pikiran saya menerawang pada metode penelitian sejarah, yang menjadikan teks-teks masa lalu dan jadul sebagai data primer penunjang penelitian. Meskipun saya bukan seorang sejarawan atau mahasiswa jurusan sejarah, tapi yakin bahwa teks yang tersusun pada hari ini di media massa bakal menjadi data primer bagi anak-anak kita ketika mereka meneliti suatu peristiwa penting.
Waduh..ngelantur juga ya.
Tapi biar saja, yang jelas saya masih yakin bahwa kultur tulis-menulis mesti dipelihara agar generasi selanjutnya tidak terjebak pada hipotesis-hipotesis yang dangkal dari nilai keilmiahan. Bahkan sampai mengabaikan realitas sosial-historis. Karena itu, hingga saat ini, saya masih berpegang teguh bahwa menulis adalah kewajiban moral.