"Aku berjalan di pinggir pantai. Ombaknya...gede amat bo!!! Namun, aku tetap menghormatimu sebagai tinta emas yang dulu mencoba melukis hatiku dengan cinta."
Itulah simpulan yang saya ambil ketika temanku, meluapkan rasa cintanya. Meskipun aslinya dia tak berucap-kata seperti itu, saya berijtihad saja; temanku memang begitu.
Dengan tubuh basah diguyur hujan. Jaket cokelat dari Sukaregang tak mampu menutupi sinar cinta sang temanku itu, padanya. Cinta yang katanya, sempat merekah indah di lubuk hatinya. Kini masih tetap tumbuh subur dengan belasan tahun yang lalu.
Aku sempat berpikir, "Kau adalah cintaku sampai mati. Tapi, dengan kehadiran anakku; sekarang aku tak mampu mendekapmu erat."
Hanya kesedihan yang mendayu ketika kau mengungkapkan penderitaan. Aku hanya bisa mengatakan, "Terimalah kehendak-Nya ini, dik. Aku merasakan seperti yang kau rasakan. Tapi, sekarang persatuan cintaku denganmu adalah rahasia hati. Abdul Qadir Jaelani bilang, cinta kita adalah rahasia di antara rahasia-rahasia."
Gang sempit, yang dulu dijadikan tempat pertemuan terakhir kita, seakan menghimpit tubuhku. Menjepit setiap harapan yang pernah kita rangkai dulu. Sejak saat itu, aku yakin kehendak-Nya dengan kehendak umat manusia kadang tak sesuai realita. Bersabarlah kasih....
Tetaplah menggapai bintang....