Kali kesempatan ini, aku terpaksa menulis tentang tahapan menulis buku. Aku yakin kamu sudah sedemikian mahir menggunakan notebook kamu, buku bacaan kamu, dan keyboard PC (Personal Computer) di rumah kamu. Dari persentuhan itu, lahirlah jejeran teks buah karyamu. Formatnya bisa dalam bentuk catatan, diary, bahkan blog kamu yang aduhai mantapnya.
Nah, untuk menghasilkan buah persentuhan dengan pengalaman, buku, dan refleksi hati butuh keterpaksaan. Hasil persentuhan itu bakal lahir kalau kamu terpaksa. Punya bakat terpaksa dalam diri mesti dimanfaatkan. Misalnya, ketika kamu disuruh membuat makalah oleh guru atau dosen, kamu bisa menyelesaikannya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Jujur saja, aku terpaksa menulis buku karena punya bakat terpendam. Ya, "Bakat Kubutuh" hahaha. Kalau tidak sedang butuh uang, popularitas, dan peningkatan intelektual, aku tidak akan pernah menulis buku.
Terpaksa dalam bahasa penerbitan buku hampir sama dengan istilah “deadline”. Kalau kamu sudah berhadapan dengan penerbit harus siap dikejar “deadline”. Atau, siap-siap saja kamu kecapekan mengejar si “deadline” itu.
Aku yakin dia awal mulanya terpaksa menuliskan ide dan gagasannya karena kalau tidak, bisa sakit jiwa. Hehe. Aku yakin juga dia mengejar “Deadline” yang diberikan Tuhan untuk menelurkan karya sebagai tanda manusia beradab.
Lantas kamu bertanya padaku, “sudah berapa judul yang kamu tulis?”
Aku hanya bisa menjawab, “ah…tidak banyak. Karena kamu memaksaku berbagi pengalaman, aku rela membaginya. Jujur, kali ini, aku tidak merasa terpaksa. Mungkin aku sudah mendekati punya kedewasaan berpikir. Hehe! Terlalu murah mengukur sebuah karya dengan segepok uang.”
“Hahaha idealis banget deh.” Itu kamu yang menimpal perkataanku.
Aku teringat Umberto Eco, seorang kolumnis dari negeri seberang berujar, “menulis,” katanya, “adalah kewajiban moral.”
Aku muslim, dan karena kemuslimanku ini hingga mendorongku untuk menulis buku.
Kemudian, kamu kembali bertanya, “bisa dibagi nggak pengalaman suka maupun duka hingga dapat menerbitkan buku?”
Hmmm, asyik juga tuh. Aku akan paksakan menulis trik, tips, dan bekal agar karyamu bisa diterbitkan sebuah penerbitan. Yang jelas, siapkan jiwa dan raga menghadapi penolakan-penolakan.
Jangan pernah putus asa! Gugur satu tumbuh seribu pokoknya.
Mulailah menulis buku dengan terpaksa. Mumpung kamu masih bisa bernafas. Mumpung kamu bisa berpikir. Mumpung kamu punya tangan. Lihat Gola Gong, hanya dengan sebelah tangan, dia mampu menghasilkan karya agung.
Lihat juga Andrea Hirata, yang tak pernah menulis buku sebelumnya, tapi melahirkan karya fenomenal, tetralogi Laskar Pelangi. Paksalah dirimu untuk menulis buku. Maka, akan lahir sebuah buku sebagai hasil persentuhanmu dengan buku bacaan, pengalaman, dan keberfungsian hatimu.
Setelah bukumu terbit, bahagia rasanya; meskipun kadang-kadang muncul ketidakpercayaan diri. Takut karyamu itu dibilang tidak berkualitas.
Biarkanlah mereka berkata seperti itu. Yang terpenting, gue udah mengada. Gue udah jadi manusia beradab. Gue udah menjalankan perintah “Iqra” dari Tuhan. Gue udah mampu mencapai puncak kebahagiaan.
Setelah memaksakan diri, bahkan terpaksa menulis buku, lama-kelamaan kamu akan menemukan setitik air dari telaga kebahagiaan hidup: berkarya tanpa henti.
Sekian dulu cakap-cakap kita hari ini. Besok atau lusa, gue tulis lagi bagaimana langkah awal mengelola ide hingga menjadi buku. Ya, itung-itung belajar bareng bikin buku. Karena sampai saat ini aku juga tidak tahu, buku seperti apa yang ditolak dan diterima itu.
Ditolak bukan berarti ide dan gagasanmu jelek. Diterima, bukan berarti juga naskah kamu itu bagus. Ada beberapa faktor yang menyebabkan lahirnya akibat-akibat tersebut (diterima dan ditolak). Dan, itu akan aku bahas pada tulisan nanti.
Let’s Write for Happiness!!!!