PULUHAN daerah yang tersebar di Tatar Sunda, pasti memiliki makanan kecil khas yang jadi primadona. Bahkan penanda eksistensi suatu daerah. Di Garut kita akan kenal dengan "dodol", Bandung dengan peuyeum-nya, Karawang dengan Wajit, Sumedang dengan Tahu, dan pelbagai makanan khas daerah lainnya di Jawa Barat.
Namun, di tengah popularitas kuliner di setiap daerah itu, ternyata ada juga makanan kecil yang namanya jarang kita dengar. Posisinya terpinggir bagaikan pasar tradisional yang tak berkutik dikalahkan kemegahan mall, super market, dan pasar modern. Ya, kuliner Sunda itu adalah "kueh burayot".
Kueh ini terpinggir di tengah hiruk pikuk masyarakat modern karena dipandang sebagai makanan kecil yang tak punya daya jual tinggi. Bahkan terkesan kampungan atau tidak prestisius. Padahal, kueh amis yang bentuknya seperti sesuatu yang menggantung ini berasal dari warisan karuhun. Dari namanya saja berbau kesundaan, yaitu "burayot".
Kendati agak sedikit pornografis, karena terasa tidak enak didengar, "kueh burayot" untuk konteks masyarakat kampung, tentunya masih jadi kuliner yang murah-meriah dan gampang dibuat. Hanya berbekal gula kawung, tepung beras, minyak goreng, dan sedikit santan; warga kampung sudah bisa mengolah, menghidangkan dan menyantapnya rame-rame.
Apalagi jika dinikmati ketika panas – baru dijait tina katel – pasti nikmatnya tak kepalang. Emmh..!cudem kata Uwak Kepoh, ketika ia mengiklankan produk Sozzis di salah satu stasiun Radio. Mungkin, yang paling menghargai setiap rasa (dari pelbagai kebudayaan) dalam anatomi tubuh kita, adalah lidah.
Sebab, satu lidah bisa mengonsumsi aneka macam bahan dan rasa kuliner dalam satu waktu. Disinyalir juga bahwa dalam produk kuliner khas daerah, tidak menggunakan satu bahan dalam setiap komposisinya. Misalnya, komposisi "kueh burayot" sangat beragam dan itu mengajarkan untuk selalu mengapresiasi keragaman.
Jika ditelisik secara filosofis, mungkin keragaman dalam setiap komposisi kuliner etnik Sunda, akan memberi acuan perilaku pada masyarakat. Sayangnya, dalam kajian antropologi, kita jarang meneliti asal-usul nama etno-kuliner, dan kaitannya dengan produksi budaya, sehingga muncul konotasi bahwa persilangan budaya hanya bisa terjadi di ranah kesenian.
Padahal, asal-mula kehadiran kuliner di setiap daerah tidak terlepas dari pengaruh budaya luar etnik, atau bisa juga merupakan pengetahuan asli warga. Denis Lombard, seorang penggagas silang budaya mungkin tidak melihat bahwa kuliner etnis di Jawa – khususnya di tatar Sunda – sangat representatif dijadikan sebagai indikator telah terjadinya persilangan budaya. Sebab, etno-kuliner bisa menentukan identitas kebudayaan masyarakat lokal, termasuk Sunda; dan boleh jadi akan memengaruhi kebudayaan para pendatang.
Menilik komposisi dan nama "kueh burayot", umpamanya, saya yakin bahwa kuliner khas Jawa Barat ini – yang masih ditemukan di kampung - adalah produk asli urang Sunda. Bahkan, seiring perkembangan zaman, kueh ini bertransformasi menjadi kueh ali agrem dan kueh cuhcur; pertanda bahwa secara kultural setiap pemikiran manusia mengikuti arus ruang dan waktu. Tidak rigid, tidak kikuk, dan tidak stagnan.
Pertanyaannya, "kueh burayot" juga berubah bentuk menjadi "kueh ali agrem" dan "kueh cuhcur", lantas kenapa kita tidak bisa memproduksi budaya kendati hanya sekadar dari hasil silang budaya? Apabila mengaku berbudaya, wajib rasanya kalau kita berguru pada lidah, yang tidak pilih kasih atas segala macam rasa: manis, asam, asin; rame rasanya. Bukan hanya itu, rasa pedas juga acap kali kita temukan dalam kuliner Sunda; misalnya Sambel Cibiuk!
Jadi, mulai saat ini, kita sepatutnya melestarikan kuliner khas tatar Sunda, yang sedang bergelut dengan globalisasi kuliner dari luar sana. Sebab, tidak bisa tidak, lidah kita adalah lidah urang Sunda, yang sejatinya mencicipi sekali saja kenikmatan manisnya "kueh burayot". Minimalnya sebulan sekali; atau setahun sekali tatkala hari Lebaran tiba.
Tentu saja kita pun tak pernah membenci pluralitas rasa pada setiap kuliner dari daerah manapun kan? Nah, jika kita menghargai perbedaan yang pasti terjadi pada realitas sosial kemasyarakatan; itu pertanda bahwa kita telah menyerap ilmu lidah yang tak pernah pulah-pilih rasa. Persilangan budaya pun akan mewujud ke dalam bentuk yang estetik dan nikmat dicicipi. Bukan malah mengagung-agungkan kuliner dari luar negeri saja.
Karena itu, sekarang saatnya kita membebaskan diri dari pengaruh asing, dimulai dari kolonialisasi lidah bangsa luar. Tapi, bukan berarti harus menutup diri dari pertukaran rasa setiap kuliner dari pelbagai keberbedaan budaya. Sebab, ke depan (mungkin saja) akan ada "kueh burayot" rasa coklat, rasa jeruk, dan sebagainya. Ini pertanda bahwa kita selalu aktif memproduksi budaya, hingga melahirkan persilangan budaya yang memukau. Bahkan sebagai bentuk perlawanan atas hegemoni bangsa luar secara arif dan berbudaya.
Ah, tulisan ini hanya sekadar gagasan utopis; tapi sangat perlu dijabarkan tatkala bangsa kita banyak yang lebih mencintai produk luar. Hal ini untuk membuktikan bahwa bangsa kita, khususnya urang Sunda, memiliki identitas yang tak bisa tenggelam kendati pusaran arus globalisasi menerjang.