Satu hal yang tak pernah saya selesaikan. Merangkai cita-cita. Sejak kecil, saya tak biasa dipupuki si emak dengan cita-cita setinggi langit. Boro-boro jadi pejabat, guru pun tak pernah terlintas dalam buku catatan cita-citaku.
Meskipun, almarhum ayah saya seorang guru. Si emak menyekolahkan saya ke pesantren, agar saya menjadi orang baik. Apa pun pekerjaan saya, yang penting dapat mewujudkan saya jadi orang yang baik. Namun, ketika mengikuti pelatihan motivasi hidup. Cara saya merangkai cita-cita tersebut bukan sesuatu yang tepat. "Kurang spesifik", katanya. Yang lebih spesifik atuh. Misalnya menjadi pengusaha telor asin se-Indonesia.
Kalau betul cita-cita menjadi orang baik tidak spesifik, pantas saja di dunia banyak pekerja atau pengusaha yang tak baik. Satu yang tak saya setujui dari pelatihan semacam itu. Menyalahkan cita-cita saya.
Kalau betul cita-cita menjadi orang baik tidak spesifik, pantas saja di dunia banyak pekerja atau pengusaha yang tak baik. Satu yang tak saya setujui dari pelatihan semacam itu. Menyalahkan cita-cita saya.
Padahal, cita-cita bebas saya rangkai sesuai keinginan dan iklim geo-kultural, di mana saya hidup. Dulu, karena saya berasal dari masyarakat tani dan dipenuhi penduduk stagnan;cita-cita adalah terdiri dari kalimat umum. Ya, salah satunya menjadi orang baik.
Namun, hari ini saya kembali berpikir. Dengan keumuman cita-cita menjadi orang baik saya bisa bebas merangkai cita-cita secara spesifik. Misalnya menjadi penulis sebuah novel. Tentunya penulis yang baik.
Namun, hari ini saya kembali berpikir. Dengan keumuman cita-cita menjadi orang baik saya bisa bebas merangkai cita-cita secara spesifik. Misalnya menjadi penulis sebuah novel. Tentunya penulis yang baik.
Itu terjadi karena saya memiliki dasar cita-cita menjadi orang baik. Seandainya tidak memiliki cita-cita tersebut, saya bisa menjadi penulis yang jahat.
Hehe, emang ada penulis jahat?
"Wuh nggak heran karir kamu nggak berjalan mulus kron?", ujar sang motivator.
"Kenapa gitu?", saya penasaran juga.
"Wong cita-cita kamu sudah tercapai. Jadi kalau menganggur juga yang penting menjadi penganggur yang baik."
"Busyet...ya..ya..ya. Karena kalau nggak baik hati, pasti akan menjadi pengutil barang-barang orang lain. Naudzubillahi min dalik."
"Ah..susah ngomong sama kamu....!"
"Wuh nggak heran karir kamu nggak berjalan mulus kron?", ujar sang motivator.
"Kenapa gitu?", saya penasaran juga.
"Wong cita-cita kamu sudah tercapai. Jadi kalau menganggur juga yang penting menjadi penganggur yang baik."
"Busyet...ya..ya..ya. Karena kalau nggak baik hati, pasti akan menjadi pengutil barang-barang orang lain. Naudzubillahi min dalik."
"Ah..susah ngomong sama kamu....!"
"hehehe."