Angka kemiskinan terus merangkak naik jumlahnya. Masalah klasik seperti kemiskinan pun terus menggerayangi bangsa yang sempat dilukiskan M.A.W. Brouwer sebagai home sweethome ini. Tak heran jika ada sebagian orang yang menganggap bahwa Indonesia adalah negeri petaka-bencana.
Lantas, masihkah bangsa kita memiliki daya hidup? Yakni sebuah daya dorong untuk bangkit dari pelbagai keterpurukan dan mampu mawas diri atas segala sikap dan tindakan. Ya, betul.
Dengan daya hidup (biofilia) yang tertancap kuat di dalam diri kita, sebetulnya setiap kejadian akan menjadi perantara mengubah hidup. Kita akan terus merenungi dan berusaha menjabarkan hasil permenungan tersebut hingga mewujud dalam bentuk tindakan konstruktif.
Tatkala hidup bangsa kita dihujani kecentangperenangan aneka bencana, hal itu akan dijadikan sebagai pecutan untuk bersama-sama menyelamatkan diri. Bukan sendiri-sendiri menyelamatkan diri sendiri.
Menanggulanginya juga tidak hanya sebatas berdoa di tempat ibadah saja. Berusaha pun pada posisi demikian mutlak dilakukan. Sebab, tanpa ada usaha sungguh-sungguh, nasib kita tidak akan pernah beranjak satu jengkal pun. Diam, statis, stagnan, dan tak berubah ke arah terbaik walau hanya sedikit saja.
Doa dan usaha adalah dua entitas yang tak terpisahkan, tatkala kita hendak keluar dari jerat-jerat bencana alam dan kemanusiaan. Seorang bayi mungil umpamanya. Tentu saja tidak mungkin bisa berjalan tanpa berusaha menjejakkan kakinya di tanah. Belajar berjalan meskipun harus terus terjatuh, seorang anak pantang menyerah. Ia terus berusaha menggerakkan kedua kakinya.
Kalaupun ia terjatuh, seorang ibu di tatar Sunda akan mengucapkan “jampe-jampe harupat geura gede geura lumpat”. Kurang lebih artinya cepat besar kalau ingin bisa berlari. Maka, anak itu akan meredakan tangisannya dan kembali memulai aktivitas berjalan yang sempat terganggu.
Alhasil, setelah satu tahun lebih belajar berjalan tanpa bosan-bosan; kini ia pun sudah mulai bisa berlari-lari kecil. Itulah hasil akhir yang menggembirakan dari aktivitas berdoa dan berusaha.
Meskipun bangsa ini harus terus dihantui teror bencana alam (natural disasters) dan bencana kemanusiaan (seperti kemiskinan), tidak menjadi alasan untuk meredupkan daya hidup. Sebab, tanpa usaha pendakian yang melelahkan kita tidak akan pernah sampai ke puncak gunung. Begitu juga dengan nasib bangsa kita.
Tanpa melakukan doa dan usaha, tak akan pernah bersemangat untuk bangun kembali dari keterpurukan akibat bencana alam dan bencana kemanusiaan.
Ud’uni astajib lakum, berdoalah kepada-Ku niscaya akan diijabah, juga mengindikasikan bahwa setiap permohonan kita kepada Allah akan terkabul. Itu juga jika ada usaha sungguh-sungguh dari kita. Sebab, bangsa yang karut-marut dengan ragam persoalan ini tidak dapat menggeliatkan diri hanya dengan menengadahkan tangan. Butuh keselarasan antara doa dan usaha. Itulah intisari dari daya hidup.
Kemiskinan (satu-satunya masalah paling akut) bukan diakibatkan bangsa kita malas. Buktinya, kita bisa melihat kiri-kanan. Banyak betul warga yang banting-tulang hanya untuk mencari nafkah hidup. Di kampung saya, umpamanya, masih ada warga yang setiap pagi hari pergi ke sawah. Di kota besar juga masih ada warga yang berprofesi sebagai tukang ojek, pedagang kaki lima, tukang becak, supir angkot, dan sebagainya.
Bukankah mereka juga sebagian dari warga masyarakat yang berdaya hidup? Lantas, kenapa kita harus mengklaim bahwa kesengsaraan merupakan imbas dari kemalasannya? Saya rasa, pola pikir naïf seperti ini mesti diluluhlantakkan.
Perasangka penuh kecurigaan semacam ini tak layak terus disandang. Kita tidak berdaya hidup kiranya jika dijibuni prasangka yang tidak dapat menyelesaikan masalah. Malah memperumit dan akan memecah belah persatuan.
Dalam konteks ini kita memerlukan kehadiran pejuang sosial. Seorang manusia yang mampu menghapus penjajahan dan perbudakan yang dilakukan bangsa sendiri yang mengeluarkan kebijakan tidak pro-rakyat. Inilah yang mengakibatkan bertebarannya kemiskinan. Ada semacam penindasan struktural di negeri ini. Tak heran Pramoedya Ananta Toer sempat menulis dalam bukunya bertajuk: Jalan Raya Pos, Jalan Daendels diterbitkan oleh Lentera Dipantara sbb: “ Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”.
Eksistensi pejuang sosial pada posisi demikian mesti digusur pada mampunya mengentaskan keberbagaian persoalan yang melilit rakyat hingga dapat membebaskan dari pelbagai kungkungan yang membuat kita nyinyir. Apalagi jika kondisi ekonomi kian degradatif, birokrasi yang dijibuni perilaku korup, dan bencana banyak diderita warga pelosok. Dapat dipastikan jika pejuang sosial sangat mutlak keberadaannya.
Last but not least, memompa daya hidup agar dapat keluar dari aneka ragam persoalan yang memilukan ialah keniscayaan yang tak pernah nisbi. Ingatkah kita dengan firman Tuhan: “Innamaal-usri yusro”, dibalik kesulitan terhampar berjuta kemudahan? Wallahua’lam