Tuhan dipenjara seluruh ketamakanmu. Dia menjadi tak berarti apa-apa di kedalaman sinabarmu. Tempat suci-Nya kini menjadi panggung politik kepentingan. Pertunjukan atraktif di gedung-gedung masjid yang sejatinya bersih dari nafsu-nafsu berkuasa. Kita seolah menjadikan bebangunan beratap menara bulan bintang itu sebagai rebutan orang-orang. Madjid berkata, “Islam Yes!” sementara “Partai Islam No”.
Adalah kepicikan ketika ruh coba-coba dilumuri nenafsu manusiawi berbalut angkara murka. Nilai agama menjadi jualan politik yang tak lagi seseksi Dewi Persik. Se-ngetren Ahmad Dani dan Luna Maya. Laiknya Ariel yang tak lagi percaya diri untuk berkarya: Agama menjadi mati suri. Mati dari keberfungsian hakikinya sebagai mesin penggerak umat manusia untuk mentransformasi.
Tak usah kau salahkan Agama. Salahkan saja manusia-manusia yang lunglai ketika menafsir mesin penggerak Agama. Matilah jiwa. Matilah rasa. Matilah sinabar di otak kepalamu. Daya dobrak Agama pun tak lagi seperkasa Hercules menghancurkan benteng-benteng yang dibangun ayahnya, Zeus.
Mereka hanya bisa berkata, “Negaraku”, seraya menerawang ke angkasa, “adalah jamrud khatulistiwa yang mencekam.” Tak ada lagi harapan yang tersimpan di dada setiap insan negara: “Aku berteriak: Matilah Agama”...Matilah engkau di dunia ini akibat ulah manusia bermental raksasa angkara murka.
Engkau kini tertindih nyeri. Menggerinjal ingin membebaskan diri jerat tali temali besi. Namun si dia hanya tertawa senang, kadang riang. Gigi bergerigi dan mulutnya yang penuh keserakahan terlihat menyebalkan. Sangat menyebalkan serupa orang dewasa yang mengambil ludo, monopoli, dan ular tangga milik adiknya secara paksa. Sementara itu, di luar, orang-orang keparat hanya bernyanyi riang tak kenal lelah. Rasa dan jiwanya tak bergelinjal keluar ubun-ubun kesadaran manusiawi. Membiarkan suara engkau menjadi parau...sangat parau...dan lambat laun tak terdengar segemercik apa pun.
Bebatuan itu terasa berat menindih lekat. Memberati tubuh ringkih berkalung derita. Penderitaan yang dirangkai secara sengaja oleh babi-babi berdasi. Rakyat kini tak lagi berpunya kedaulatan. Semuanya habis digerus keserakahan kaum dewa yang bermuram durja. Merana dan merona tak ada bedanya. Blur dengan suara isak tangis engkau yang terus-terusan mengeras. Membahana. Dan menghiasi alam ini. Semakin keras dan membahana; semakin tak terdengar teriak penderitaan. Petani, guru honorer, pengangguran, tukang angkot, pemboseh becak, dan si dekil hanya bisa berteriak hingga parau, serak dan lantas meringkuk kikuk di pembaringan.
Engkau bersuara seperti halnya si bisu yang tak sudi berkata-kata. Meracau karena engkau dianggapnya super gila bagi orang-orang yang kini duduk tersenyum di kursi empuk kekuasaan. Tak lupa dibalik senyum dan simpati mereka, terselip sebatang cerutu yang mengepulkan asap kemunafikan.
Bandung, Juni 2011