Istilah karunghal dan dirunghal muncul di masyarakat Sunda kala ada seorang adik – laki-laki maupun perempuan – yang mendahului kakaknya menikah. Di kampung halaman saya, dulu bahkan sekarang juga, masih memandang tabu perbuatan ngarunghal tersebut. Jika ada orang yang melakukannya, sudah tradisi sang adik harus memberikan ipekah kepada sang kakak.
Jumlah dan jenis pemberian ipekah itu, biasanya beragam. Ada yang memberikan uang, motor, sebagian sawah, dan lain-lain. Tradisi tersebut, oleh masyarakat di kampung saya sudah banyak ditinggalkan. Mungkin, karena zaman telah berkembang pesat hingga warga masyarakat sudah meluntur pandangannya bahwa melangkahi sang kakak itu tabu. Sesuatu yang mesti dijauhi.
Namun, masih ada juga – bukan di kampung saya saja – orang yang masih tidak berani ngarunghal sang kakak. Contohnya saya sendiri. Hehe kendati sudah punya calon, tapi masih menunggu kedua kakak saya menikah terlebih dahulu. Alhamdulillah, bulan syawal kemarin (1428 H) datang seorang pemuda ke rumah. Dan, mudah-mudahan tahun 2007 di bulan Rayagung nanti kakak saya yang perempuan cepat menikah. Amiin!
Bukan berarti saya kolot dan ketinggalan zaman. Akan tetapi, saya menjaga perasaan Teteh agar tidak merasa terpinggir. Sebab, secara psikologis orang yang paling tua, akan merasa tersaingi tatkala adiknya mendahului menikah. Hal ini akan menimbulkan ketidakharmonisan dalam sebuah relasi dan komunikasi dalam satu kesatuan keluarga. Kendati, dengan kejembaran budaya – teteh saya – mempersilahkan adik dan saya sendiri untuk menikah terlebih dahulu. Saya merasa belum berani melangkahi sang kakak.
Apalagi ia selama ini membantu biaya perkuliahan saya di UIN SGD Bandung sampai beres. Alasan lainnya – hehe – saya belum punya sesuatu untuk diberikan sebagai tanda kadeudeuh kepada sang tetehku tercinta. Meski ia selalu mempersilahkan adik saya yang perempuan untuk menikah, tapi saya yakin hati kecilnya akan berkata lain. Sekarang, saya bisa bernafas lega. Sebab, sang teteh yang arif dan bijaksana itu telah menemukan – mudah-mudahan – jodoh yang diridhai Allah dan masyarakat.
Saya juga akan ridha dan tidak akan minta macam-macam andai saja sang adik tercintaku yang perempuan tahun 2008 menikah. Nyonto lanceuk anu teu kabeuratan dirunghal. Tidak seperti salah satu saudara dari Uwa saya, yang minta sejumlah uang ketika bulan Syawal kemarin dirunghal adiknya.
Ternyata, dengan fenomena tradisional yang entah kenapa ada di dalam kebudayaan Sunda ini, kita bisa mengambil hikmah. Untuk terus menempatkan orang yang lebih tua daripada kita secara hormat. Itulah mungkin kenapa harus ada yang dinamakan mas kawin kepada orang yang dirunghal. Tujuannya agar ia tidak merasa direndahkan dengan membeli hatinya, bagaikan kita sedang membeli buah-buahan. Agar buah tersebut bisa kita konsumsi, ya, harus dibeli dong. Mengonsumsinya juga akan aman. Karena telah halal!
Begitu juga dengan orang yang ngarunghal sang kakaknya. Dengan memberikan apa yang diminta sang kakak, merupakan tanda bahwa orangtua kita tidak ingin melihat anaknya pasea atau bertengkar gara-gara masalah sepele. Bahasa Sundanya ngarepehan. Sebab, ketika papaseaan terjadi, jangan-jangan akan menghancurkan keutuhan dan kesatuan dalam sebuah keluarga.
Wilujeng lakirabi Teh. Mugiya anjeunna janteun salaki anu soleh tur tiasa nuntun kana jalan beneur. Hore, sekarang saya tidak jadi ngarunghal, tapi kemungkinan akan dirunghal. Haha enjoy aja lagi. Wong kemungkinan besar kakak saya yang laki-laki juga akan karunghal simkuring. Tapi, mudah-mudahan jangan terjadi. Biasa.., agar kakak saya ndak cemberut.
Nya atuh Arip – nama kakak saya yang laki-laki – jig geura milari calon pamajikan pami tos mapan usaha mah. Ujar Emak saya dan empat orang kakak yang sudah berumah tangga.
Muhun.., bilih karunghal ku abdi. Bisik hati kecil sambil pupurungkutan karena Kang Arip mencrong ka simkuring. Ah, heureuy ketang teu kenging dianggap serius. Sebab saya tidak ingin proyek pernikahan memproyeksikan kekesalan sampai tujuh turunan. Emang aya kitu? Ndak mungkin terjadi lah. Urang Sunda yang nyunda mah asak jeujeuhan.