Sungai Ciliwung yang mengalir dari daerah puncak Bogor, menyisakan pelbagai soal yang memusingkan warga yang teraliri di daerah hilir. Seperti halnya sungai-sungai besar di Indonesia, Ciliwung adalah aset berharga bagi lahirnya kebudayaan. Daerah saya yang terlewati aliran sungai Cimanuk, misalnya, memiliki peran dalam melahirkan budaya masyarakat.
Bahasa, falsafah hidup, keyakinan, cerita mitis, dan seni lahir berkat kehadiran sungai dalam hidup warga di sekitar daerah aliran sungai (DAS). Saya rasa, begitu juga dengan sungai Ciliwung yang mengalir ke daerah Jakarta. Ada kebudayaan masyarakat yang dibentuk karena interaksi antara manusia dengan sungai Ciliwung.
Sebetulnya, sungai di Bogor - yang dahulu kala - adalah pusat mandala kerajaan Sunda bernama Pakuan, ada dua jenis. Pertama, Cisadane yang berarti tempat suci, sakral, atau sungai yang bersih. Sungai lainnya adalah Ciliwung. Airnya kotor, keruh, dan berwarna sehingga tepat diberi nama Ciliwung. Sebab, “Ci(ha)liwung” berarti kotor, profan, dan membingungkan. Dalam kamus bahasa Sunda, “liwung” berarti membingungkan.
Lantas kenapa sungai Ciliwung membingungkan? Ya, dari sungai ini banyak manusia - karena tidak bisa menangkap tanda-tanda alam - dibikin pusing tujuh keliling. Tapi ini juga akibat dari perilaku kotor dan merusak yang dipraktikkan manusia. Kita lihat realitas saat ini. Dalam laporan ekspedisi Ciliwung yang digagas Harian Kompas, kondisi air yang mengalir dari Ciliwung terdegradasi.
Secara hermeneutis, ini mengindikasikan bahwa dunia profan atau bumi bagi manusia, kalau tidak mampu diurai tanda-tanda alamnya, akan mengakibatkan mereka berlaku kotor dan merusak. Seperti yang dilakukan pada sungai Ciliwung kini, sehingga menyisakan persoalan membingungkan bagi masyarakat dan - katanya - pemerintah.
Mungkinkah Ciliwung ke depan tidak membingungkan lagi? Semoga bisa! Agar warga sekitar merasa nyaman dengan ketidaknyamanan bau Ciliwung yang tidak pantas dibahas dalam tulisan ini.