Marwati suaranya terdengar merintih nikmat. Aku saat itu hanya mendengkur di belakang rumah. Di atas kubangan lumpur yang mengering saat kemarau. Telingaku kembali mendengar rintihan itu. Semakin lama semakin keras. Hingga bikin aku tak bisa tertidur. Lama suara itu diakhiri dengan kata yang tak kumengerti, “oh yes”.
Bahasa manusia yang satu-satunya kumengerti adalah apa yang diucapkan Sumardi. Selain itu, aku hanya bisa mendengus, sesekali menggelengkan kepala, menjulurkan lidah, bahkan harus lari terbirit-birit ketika ada batu kerikil melesat ke arah tubuhku.
Malam ini, aku baru mendengar suara yang agak aneh Marwati dari balik jendela. Kata Sumardi, dia adalah istrinya dan sedang menginginkan seorang anak. Kau tahulah, sejak pernikahannya, dia kerap dimarahi tanpa alasan jelas oleh Marwati. Tak heran jika Sumardi sering menghabiskan waktu mengobrol denganku.
Aku menjadi tahu segala masalah yang menggelisahkan majikanku itu. Dia sering mencurahkan isi hatinya kepadaku. Aku dan Sumardi laiknya dua sosok makhluk berbeda yang akrab menjalin persahabatan. Hebatnya, tanpa sekat kemanusiaan dan kebinatangan. Aku adalah anjing terbahagia yang pernah ada di muka bumi. Merasakan betapa perhatiannya Sumardi padaku. Bahkan, dia tak segan meminta pendapatku ketika ditempa pelbagai masalah.
Siang tadi Sumardi tertunduk lesu. Matanya terlihat sayu. Ia terlihat letih.
***
“Guk..guk…guk.” Aku bertanya kepada Sumardi malang.
“Oh..tidak ada apa-apa, Ziko. Aku hanya kurang tidur tadi malam.”
“Guk..guk…guk…guk.” Aku kembali bertanya padanya.
“Hehe ini namanya emosi Ziko. Setiap manusia yang berbalut masalah hidup kerap terlihat tak semangat. Kesedihan memang satu emosi yang banyak melahirkan pembunuhan absurd. Tak heran jika banyak orang yang melakukan bunuh diri.” Ujar Sumardi menjawab pertanyaanku tadi secara rinci.
“Guk..” Terdiam aku menatapnya sendu. Sesekali kukibaskan ekorku yang pendek terpotong sebilah golok. Kata Sumardi, ekorku dipotong sejak kecil guna menambah stamina. Bukan karena dia membenciku.
“Hahaha..tak usah khawatir Ziko. Aku tak akan melakukannya. Aku masih memiliki keimanan. Meskipun Tuhan jadi sandaran hidup, tak pernah terbersit setitik pun untuk mengakhiri hidup ini. Keputusasaan hidup adalah petanda kepengecutan.”
“Guk…guk”, aku terdiam tanda mengerti. Namun, tiba…tiba.
Kuhentikan langkah kaki. Hidungku mencium bau yang asing dari arah perkebunan. Ya, tidak salah lagi bau itu berasal dari bangunan tua di sebelah Timur kebun milik Sumardi. Asing dan aneh karena bau ini berbeda dengan manusia lain. Sangat berbeda dengan bau badan Sumardi, Marwati, pak Ijo, bahkan si Dukok yang sering melempariku dengan batu.
Tanpa pikir panjang. Aku berlari mengejar bebauan asing ini. Tak kupedulikan teriakan dan jerit Sumardi yang membahana. Aku, kadung dengan janji seiya semati ketika beberapa tahun ke belakang, Sumardi memercayakan keamanan kebun ini padaku.
Rumput ilalang yang tinggi pun diterabas tanpa alih perhatian. Pepohonan dan batu kulompati bagai di dalam pacuan kuda. Nafas kebencianku memuncaki ubun-ubun. Mengejar bau, yang kusangka berasal dari keringat para pencuri. Atau, keringat para pejabat korup. Bau amisnya menyengat sampai ke dalam perutku yang ramping. Mengocok isi perut hingga tak enak berasa. Namun aku harus mengusir bau ini dari kebun Sumardi. Jangan-jangan dia adalah ketua gerombolan pencuri kekayaan alam Sumardi yang tersesat.
Singat cerita, bau itu semakin mendekat. Mendekat. Dan kembali mendekat. Aku merasakan punggung dipenuhi semilir hawa ketakutan. Bergejolak dengan gen keberanian yang angkara murka dalam diriku. Mereka bertarung untuk menentukan siapa yang menang dan kalah. Kalau gen keberanianku kalah. Bisa engkau bayangkan. Aku akan telungkup di samping Sumardi ketika ada bebauan yang membahayakan nyawa majikanku ini. Lantas berteriak lantang. Aku akan berkorban demi majikan. Biarlah mati berkalang kepahlawanan daripada hidup menyisakan kepedihan.
Kuterobos rumput ilalang kembali. Sekitar sepuluh meter kulihat sosok manusia sedang termangu. Dia membelakangiku. Menyisakan ketakutan bercampur rasa benci.
“Guk…guk…guk…!” aku berteriak lantang kepadanya.
Setelah mendekat, sang kakek tua itu pun membalikkan tubuhnya yang kering kerontang. Kemudian dia berujar padaku, “Ada apa Ziko? Ini aku…majikanmu. Sedang di mana anakku, Sumardi.”
“Guk..guk…guk!”
“Apa…kau tak mengenaliku sekarang Ziko? Lihatlah baik-baik. Aku ini majikanmu yang dulu. Ingatkah kau tentang kisah peri seribu bayangan? Kisah dewa yang hidup di kahyangan?”
“Guk…!”
“Oh ternyata kau ini anjing pelupa Ziko. Aku kecewa denganmu. Bagaimana mau menjaga Sumardi dan kebunnya, kalau saja kau anjing pelupa.”
“Grrrrrrrrrrrrrrrrrr”
“Walah..walah. Kau ini memang sudah pikun. Apa maksudmu tak memercayai omonganku? Nanti kalau Sumardi sudah berada di sini, aku akan bilang padanya untuk memecatmu. DASAR ANJING KURAP!!!”
Tanpa pikir panjang. Kaki belakangku ditekan kuat. Pundukku sedikit ditarik ke arah bawah. Kubuka mulutku yang dipenuhi jajaran taringan gigi-gigi yang super tajam. Sesekali kuhenduskan nafas dari hidungku mirip pertunjukan Rodeo di Mexico. Kulihat sekeliling. Pohon berjejer laksana penonton yang bersorak-sorai.
“Tunggu dulu”, bisik hatiku pelan, “kenapa orang tua ini tahu namaku. Dia juga bilang bahwa Sumardi adalah anaknya”.
Hmm.., rasa-rasanya kukenal suara kakek peyot ini. Dasar tak tahu malu. Batinku meradang. Dia adalah Ki Sudji. Tapi kenapa dia ada di sini. Bukankah dia sudah mati sejak lima tahun yang lalu? O iya, Ki Sudji adalah ayahnya Sumardi yang meninggal karena dibunuh perompak kampungan. Kulenturkan syaraf-syaraf amarahku. Sebab, tahu bahwa Ki Sudji adalah majikan ibuku.
Tanpa basa-basi kupeluk Ki Sudji dengan haru.
“Hehehe…begitu dong Ziko. Kau memang bukan anjing amnesia. Kau adalah anjing hebat yang pernah kupelihara dan kubantu kelahiran ke dunia ini. Itu baru anjingku yang manis.” Ujar Ki Sudji sembari mengelus-elus tubuhku yang basah karena tadi menerobos ilalang yang masih basah dipenuhi embun.