”Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”(QS Ibrâhîm [14] : 7)
Secara bahasa, syukur berasal dari kata syakara-yasykuru-syukran, berarti mengucapkan terima kasih atau berterima kasih. Syukur adalah menggunakan atau mengolah nikmat yang dilimpahkan Allah sesuai tujuan dianugerahkan-Nya. Secara tegas Al-Quran menyatakan kita ditugaskan membangun bumi ini.
Syukur dapat berarti kemampuan melihat potensi atau pekerjaan sebagai tuntutan agama, sehingga dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Mengelola alam, bekerja sungguh-sungguh, dan belajar adalah bentuk syukur terhadap anugerah yang diberikan-Nya.
Imam Ibn Al-Qayyim Al-Jauiziyah, dalam kitab Madariju Al-Saalikin membagi syukur kepada dua bagian: syukurnya masyarakat awwam dan kaum khusus (al-khawash). Segala hal makanan, minuman, dan kesehatan fisik; itu adalah syukurnya kaum awwam. Sedangkan bagi kalangan khusus atau yang memiliki tingkat pemahaman luhur terhadap nikmat-Nya, syukurnya dengan membangun kekuatan hati: keimanan dan mengesakan-Nya.
Suatu ketika, sekelompok pemuda yang sedang nongkrong diingatkan Nabi Saw., “Perbanyaklah mengingat mati.” Sahabat Anas ibn Malik (yang meriwayatkan hadis ini) melanjutkan, “Bila saya tidak keliru, Nabi Saw. menambahkan, Tidak seorang pun dalam kesempitan kemudian mengingatnya kecuali dilapangkan Tuhan hidupnya, ini disebabkan ka-rena keadaan hidup setelah mati ditentukan oleh sikap hidup sebelumnya. Bahagialah di dunia (dengan tolok ukur agama) niscaya kamu bahagia pula di akhirat.”
Individu yang puas dengan perolehannya, sedangkan masih tersisa bagi¬nya kemampuan untuk menambah demi kemanfaatan pada hakikatnya tidak menghayati ajaran agama. Benar bahwa qana‘ah adalah keniscayaan hidup, tapi qana‘ah bukan sekadar “merasa puas dengan apa yang dimiliki”. Kepuasan yang dimaksud merupakan hasil akhir yang didahului keinginan, usaha maksimal, keberhasilan, menyerahkan dengan sukacita apa yang diraihnya pada yang butuh, dan merasa puas dengan apa yang telah dimiliki sebelumnya.
Coba kita teliti berapa banyak nikmat yang diberikan-Nya berupa kesehatan, kepintaran, dan kesejahteraan, kemudian bandingkan dengan orang yang lebih bawah posisinya. Di situ kita akan melihat kadar syukur dan ketika itu tersadar tampaknya masih banyak potensi yang belum kita syukuri dengan cara memanfaatkannya demi perubahan yang lebih baik.
Setanlah yang menjanjikan kemiskinan, (QS Al-Baqarah [2]: 268), sedangkan manusia didorong berusaha sambil memohon anugerah-Nya. Untuk apa Dia menciptakan lautan? Kita akan mendengar jawaban, “Agar kami dapat memakan darinya daging segar (ikan), memperoleh hiasan yang kamu pakai, kapal-kapal berlayar dan agar kamu mencari anugerah lainnya.” (QS An-Nahl [16]: 14).
Jadi, kadar syukur bisa terhitung ketika hidup diarahkan untuk memanfaatkan potensi di sekitar sehingga mendapatkan anugerah dari-Nya. Sedekah, misalnya, adalah bentuk syukur atas anugerah nikmat kekayaan yang diberikan. Bahkan, tidak mencela orang tua juga adalah bentuk syukur karena tanpa orang tua, mungkin kita tidak pernah ada di dunia. Itulah kadar syukur seorang hamba yang memiliki keteguhan iman dan bertauhid.