TIGA PULUH tahun yang lalu, setiap hari Senin, saya selalu menjadi seorang pemimpin upacara di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Waruga, Garut. Selain suara saya yang tinggi dan kencang bagaikan penyanyi rock; juga senang menghormat bendera merah putih.
Saya akan siap maju ke depan ketika teman-teman saya ogah-ogahan menjadi pemimpin upacara. Bendera dan saya – saat itu – merupakan luap nasionalisme yang membekas.
Suatu ketika saya mengikuti kegiatan Pramuka di gunung Papandayan. Saat mengikuti upacara pengibaran bendera dan menciumi “Si Merah Putih”, saya menitikkan air mata. Usia saya waktu itu, sekitar 10 tahun.
Saya yakin, air mata itu ialah wujud dari nasionalisme saya. Alam pikiran yang menggerakkan saya mencintai pusaka tercinta Indonesia, Merah Putih. Kini, setelah 27 tahun lamanya melewati masa SD, saya memiiki pemikiran berbeda ikhwal rasa nasionalisme.
Saya tidak pernah mengikuti upacara.
Tetapi, bukan berarti saya tidak memiliki rasa nasionalisme. Saya masih tetap memelihara pohon nasionalisme yang telah saya taburi pupuk, untuk kepentingan bangsa.
Tentunya dengan ideologi yang berbeda dengan 30 tahun yang lalu. Kalau dulu, menangis ketika menyaksikan bendera tak berkibar saat bulan Agustus; kini menangis ketika negeri ini dipenuhi zombie-zombie berdasi yang menjadikan pancasila sebagai madah puja-puji di forum. Sementara itu laku korup dipelihara di setiap instansi pemerintahan.
Saya setuju dengan pandangan Daniel Dhakidae ikhwal ideologi kebangsaan, bahwa “Ideologi adalah alam pikiran, bukan sanjungan dalam madah puja-puji. Ideologi adalah sikap dan prinsip hidup. Dan, sejarah menunjukkan bahwa hampir semua ideologi yang hidup di Nusantara bertumbuh dari jenis ideologi penantang, termasuk pancasila” (Jurnal Prisma, 08/08/1979).
Dia menyimpulkan pancasila sebagai ideologi sejatinya terbenam dalam jiwa sehingga membentuk sikap dan prinsip hidup. Persoalan kini, pancasila ditetapkan sebagai ideologi NKRI, yang dicurigai hanya menempatkan butir-butir pancasila sebagai sesuatu yang dipuja-puji selangit.
Tetapi mereka lupa: disamping puja dan puji, nilai yang dikandung pancasila luput dari kesadaran. Dalam bahasa lain, pancasila hanya arca yang tak bisa disentuh dan diamalkan.
Dhakidae, menjelaskan secara historik, sebuah ideologi, termasuk pancasila, lahir karena ada gugatan dan penentangan rakyat atas ideologi mapan. Ini artinya, ketika pancasila telah menjadi bagian dari kemapaman, dan rakyat tidak merasa puas dengan efek samping bagi pejabat dalam bernegara, boleh jadi akan memicu ideologi-ideologi baru.
Kasarnya, pancasila terancam menjadi seonggok landasan negara yang tersingkirkan dari negara, seperti halnya – dalam catatan historik – bahwa pancasila pernah menggulingkan ideologi kolonialisme kaum penjajah yang tengah berkuasa.
Apabila tidak ingin terpinggir di negeri ini, para pejabat dan aparat kenegaraan wajib menjadikan pancasila sebagai landasan kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan, pemberantasan kemiskinan dan KKN.
Rasa nasionalisme seperti itulah yang harus membungkus kedirian kita hari ini. Pancasila, seperti yang selalu saya lihat di dinding kelas, saat SD dulu, menjadi mati dan mandul bila rasa nasionalisme kita hanya “rasa rekayasa”. Rasa yang hanya dibentuk saat 17 Agustus saja. Rasa yang hanya bangkit pada 1 Juni saja. Dan, rasa yang hanya dihidupkan saat perayaan hari-hari besar kenegaraan saja.
Nasionalisme dan pancasila ialah dua hal yang berbeda. Setiap rasa memiliki dan mencintai bumi pertiwi, itulah nasionalisme. Ketika saya mencium bendera merah putih dan menangis, saat kecil dulu; itulah rasa nasionalisme saya waktu itu. Sementara Pancasila, seperti dibilang Dhakidae, ialah sikap, prinsip, dan tindakan hidup berbangsa.